Rabu, 30 April 2008

Efektivitas dan efisiensi anggaran pendidikan di Indonesia

Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

Kenyataan yang terjadi di Indonesia, penyediaan sumber-sumber pendidikan, khususnya anggaran pendidikan, masih mengalami hambatan. Alokasi dana pendidikan di Indonesia termasuk rendah apabila dibandingkan dengan Negara-negara lain di Asia Tenggara, khususnya Negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan singapura. Anggaran pendidikan di Indonesia selama ini ‘hanya; dialokasikan di bawah 105 dari APBN, padahal dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.

Alokasi dana pndidikan pada tahun 2005 hanya sebesar 8,1% dari APBN, sedangkan pada 2006 sebsar 9,1%. Meskipun pemerintah dan DPR sudah memiliki kesepakatan untuk menaikkan anggaran secara bertahap 2,7%/tahun hingga 2009 dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,02% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009), namun nota kesepatan tersebut sudah diingkari. Dapat kita bayangkan jika kenaikan bertahap 2,7%/tahun saja tidak terpenuhi, maka lompatan besar peningkatan anggaran dalam tahun 2008 tentu jauh dari harapan. Hal tersebut juga masih jauh dari target kesepakatan yang dihasilan dalam KTT menteri pendidikan se-Asia Tenggar tahun 1992, yaitu minimal 25% dari APBN.

Studi empiris terhadap pencapaian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan UNDP, menunjukkan bahwa pembiayaan pndidikan di suatu Negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di Negara yang bersangkutan. Dampak rendahnya anggaran pendidikan di Indonesia adalah tidak meratanya kesempatan belajar bagi anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak dari keluarga miskin dan kurang mampu. Data BPS tahun 1998 mengungkapkan lebih dari 35% anak Indonesia usia 10-14 tahun belum pernah emnikmati pendidikan, sekitar 32% tidak pernah tamat SD. Rendahnya anggaran pendidikan juga mempengaruhi profesionalitas guru,penyediaan insfrastruktur pendidikan, serta kemampuan daya saing SDM di tingkat global.

Dengan gambaran problematika di atas, dibutuhkan penyelesaian yang secepat dan setepatnya agar Negara ini tidak semakin terpuruk dalam kebodohan dan kemiskinan. Hal pertama yang harus diwujudkan adalah adanya kemauan politik dari pemerintah untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Selanjutnya, pemerintah melalui pejabat-pekabatnya harus konsekuendalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sudah disepakati. Setelah itu perlu adanya control yang terus-menerus dari pihak pemerintah dan masyarakat. Secara teknis, pembiayaan pendidikan dari APBN dan APBD harus benar-benar digunakan untuk membiayai program-program pendidikan yang merupakan prioritas seperti program wajib belajar, program pelatihan guru, dan program pengentasan kemiskina.

Semua program di atas tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya revolusi kinerja, revolusi birokrasi dan kebijakan penganggaran yang ketat an efisien. Sebagai alternative, pemerintah bisa melakuka pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintaj. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan. Selain itu pemrintah dapat melakukan penundaan untuk menerbitkan badan-badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang cukup besar. konsekuensinya, selama anggaran belum mencapai 20%, kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian rupa.

Kebijakan desentralisasi pendidikan

Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah menjadi isyarat perlunya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang sentralistik ke desentralistik. Otonomi daerah dalam bidang pendidikan menjadi hal yang mutlak dilakukan demi terciptaya pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa.

Namun ada beberapa hal negative yang muncul dari pemberlakuan kebijakan desentralisasi pendidikan ini, yaitu sebagai berikut.

  • Daerah akan memanfaatkan kondisi yang ada untuk mendapatkan atau memroleh pendapatan daerah. Hal ini sangat riskan karena berhubungan langsung dengan rakyat kecil yang semestinya mendapatkan pendidikan gratis.
  • Menimbulkan jurang yang semakin lebar antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin
  • Tidak meratanya pendistribusian guru karena guru cenderung bertahan di daerah yang mampu memberikan kesejahteraan

Dampak negative di atas merupakan hasil ketidaksiapan daerah menghadapi kebijakan desentralisasi pendidikan. Alas an yang sering dilontarkan daerah terkait ketidaksiapannya sangat beragam, di antaranya: SDM mereka belum memadai, sarana dan prasarana belum tersedia, anggaran pendapatan asli daerah (PAD) sangat rendah, serta secara psikologis mereka gamang dan takut terhadap perubahan.

Selain sikap daerah, ternyata pemerintah pusat juga emmiliki andil terhadap kurang berhasilnya kebijakan desentralisasi pendidikan selama 8 tahun terakhir. Pemerintah pusat masih saja memertahankan bentuk –bentuk kewenangannya di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada PP no 25 th. 2000 tentangkewenangan pemerintah dan provinsi, khususnya pada pasal 2 butir 11, tercantum 10 butir kewenangan yang masih dipegang pemerintah pusat, di antaranya: standar materi, biaya penyelengaraan pendidikan, sertifikasi, kalender akademik, dan penilaian secara nasional.

Padahal jika melihat peluang dari kebijakan desentralisasi ini, maka kebijakan ini harusnya mampu menjadi salah satu jawaban dari masalah peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kebijkan ini berasal dari arus paling bawah (prass root) sehingga kebijakan ini merupakan kebijakan yang populis dan mendapat dukungan dari banyak pihak, khususnya para wakil rakyat yang duduk di kursi DPR-RI.

Demi terciptanya keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, ada beberapa pekerjaan besar yang harus dilakukan

  1. Harus ada kerjasama dari seluruh stakeholders dalam impelementasi kebijakan desentralisasi pendidikan
  2. Pemerataan SDM
  3. pemrioritasan bantuan dana ke daerah miskin dan terpencil



rio

Rendahnya mutu SDM Indonesia ?

Rendahnya mutu SDM Indonesia menjadi cermin rendahnya mutu pendidikan di Negara ini. Secara garis besar ada tiga penyebabnya, sebagai berikut.

  1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional tidak konsiste
  2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik
  3. Peran serta mayarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim

Ketiga hal di atas dapat terlihat secara jelas pada kenyataan yang sedang teradi saat ini, seperti kurang meratanya kesempatan belajar, tidak adanya kesesuaian antara program pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja, pengelolaan yang belum efisien, tenaga pendidik dan kependidikan yang belum profesional, biaya pendidikan yang terbatas, kenakalan remaja, dan lain sebagainya.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, rendahnya mutu pendidikan disebabkan karena Indonesia belum mampu mengatasi tiga tantangan besar dunia pendidikan, yaitu krisis ekonomi, globalisasi, dan otonomi daerah. Seperti yang kita ketahui bersama, sampai saat ini Indonesia masih bergulat dengan krisis ekonomi yang menimpa Negara kita sejak 10 tahun terakhir, sehingga kemampuan pemerintah menganggarkan minimum 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan belum terealisasi. Hal ini berdampak sangat luas terhadap dunia pendidikan, karena bukan saja kesejahteraan pendidik yang tidak terpenuhi, melainkan juga kemampuan penyediaan sarana dan prasaran pendidikan sangat terbatas.

Selanjutnya, terkait dengan globalisasi, Indonesia sepertinya belum mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. hal ini dapat telihat dari 2 indikator sekaligus yaitu indicator makro seperti pencapaian HDI (Human Development Index) dan indicator mikro seperti kemampuan membaca. Berdasarkan laporan UNDP pada Human Development Report 2005, Indonesia menduduki peringkat ke-110 dari 177 negara di dunia. Dalam hal kemampuan membaca, anak-anak Indonesia berada di posisi terbawah untuk kawasan Asia Tenggara, menurut laporan Vincent Greanery dalam Literacy Standards in Indonesia.

Melhat berbagai permasalahn di atas, penulis memberikan beberapa solusi untuk mengatasi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

1. Perlu adanya political will atau kemauan politik pemerintah Indonesia untuk bidang pendidikan. Hal ini adalah hal mendasar yang harus diperbaiki terlebih dahulu apabila kiya ingin memerbaiki kuailtas pendidikan kita. Political will pemerintah dapat dimulai dengan mengalokasikan anggaran 20 % APBN dan APBD untuk pendidikan. Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, diperlukan juga konsistensi tinggi dari seluruh birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan

2. Setelah adanya political will dari pemerintah, maka pemerintah harus membuat kebijakan pendidikan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan. Kebijakan tersebut di antaranya:

· Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memeroleh pendidikan

· Meningkatkan kemampuan akdemik, professional, dan kesejahteraan tenaga pendidik

· Melakukan pembaruan kurikulum

· Memberdayakan lembaga pendiidkan dan meningkatkan partisipasi keluarga

· Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem diknas

· Memberikan kewenangan kepada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan

saya ini 'hanya' seorang guru

di tengah gempuran terhadap profesi pendidik, saya memilih untuk membaktikan hidup saya sebagai seorang guru. saya terpanggil untuk memajukan anak-anak indonesia ini. meskipun sering timbul perasaan bersalah, karena saya selalu terjebak untuk mendidik anak-anak berkantong tebal. saya tidak pernah memilih anak-anak mana yang akan saya didik. tapi keadaan memaksa saya melakukannya. saya manusia biasa. saya butuh dukungan finansial untuk mencukupi hidup saya. walaupun idealisme saya terus menggelegak untuk mendidik anak-anak yang menurut keadaan disebut 'kurang mampu'.

suatu hari nanti...mungkin....

di tengah pandangan negatif akan pilihan hidup saya ini, saya mencoba terus bertahan. bahkan saya memutuskan untuk terjun total dalam dunia ini. saya menekuni ilmu manajemen pendidikan, untuk menjawab sekian banyak keingintahuan saya akan dunia ini.

namun yang terjadi adalah....

tersentak nurani saya melihat kenyataan yang ada.
cenderung mengarah ke rasa kecewa yang mendalam.
ternyata dunia pendidikan yang saya pikir adalah dunia yang tergolong bersih dari intrik-intrik duniawi, justru merupakan benih kehancuran yang terjadi di indonesia ini.

bagaimana tidak?
institusi penghasil guru yang seharusnya mampu menghasilkan guru yang berkualitas dan berhati nurani bersih, justru merupakan sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme.
sekarang saya tahu kenapa KKN tumbuh subur di negeri tercinta ini.

saya tidak menunjuk kepada pihak-pihak tertentu. memang masih banyak guru berdedikasi tinggi di indonesia ini. seperti Ibu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi.
sungguh saya merindukan sosok Ibu itu.

bagaimana murid-murid kita bisa jujur, apabila gurunya terbiasa mencontek?
tahukah anda, bapak-ibu guru, bahwa mencontek adalah akar dari korupsi?

saya juga bukanlah manusia setengah dewa. saya pun banyak melakukan kelalaian. namun alangkah indahnya apabila kita, orang-orang yang terpanggil untuk mendidik anak-anak bangsa ini, memiliki kemauan untuk maju. memiliki kemauan untuk terus belajar. terus membaca. membuka diri terhadap teknologi. bergairah terhadap diskusi. dan yang terpenting, memberikan hidup kita sebagai teladan untuk anak-anak kita.

sungguh saya rindu akan itu.......

HAL KEWAJIBAN GURU

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 20 huruf d:

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: (d) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika

Pasal 35 ayat 1-3:

1.Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.

1. Beban kerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

HAL PERLINDUNGAN

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 39 ayat 1-5:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja

(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hokum terhadap tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberi imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.

(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

HAL KESEJAHTERAAN GURU

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 1 ayat 15:

Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pasal 14 ayat 1

Dalam hal melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak

(a). memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial ,

(b). mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.

(c). memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual,

(d). memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi

(e). Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas profesional.

(g). memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas ,

Pasal 15 ayat 1

Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi;

Pasal 15 ayat 3

Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama

Pasal 40 ayat 1 dan 2:

(1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan

(2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh.

UU RI No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 93, ayat 1

Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

Pasal 93, ayat 2

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:

a. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.

c. Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

d. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang melaksanakan kewajiban terhadap negara;

e. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya;

f. Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. Pekerja/buruh berhak melaksanakan hak istirahat;

h. Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/buruh atas persetujuan pengusaha; dan

i. Pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Pasal 93, ayat 3

upah yang dibayar kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut:

a. Untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;

b. Untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;

c. Untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan

d. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

II. HAL KETERLIBATAN GURU DALAM SEKOLAH

UU RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 4 ayat 1

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Pasal 51 ayat 1

Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.

Yang dimaksud manajemen berbasis sekolah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah dan guru, dibantu komite sekolah.

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 7 ayat 2

Pemberdayaan profesi guru atau dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilaikeagamaan, nilai cultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.

Pasal 14 ayat 1 (i)

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan

PP RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Pasal 49

Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.

HAL PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

UU RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 65 ayat 1

Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal 65 ayat 3

Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga Negara Indonesia

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 1 ayat 5:

Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal

Pasal 27

Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan

Lanjutan Bab 2

Selain perpus diknas, tempat yang dapat anda kunjungi adalah gramedia matraman (terbesar di Asia Tenggara loh! J), dan tentunya pasar kwitang. Tak ketinggalan tempat-tempat fotokopi di kantin UNJ karena terkadang ada buku-buku sisa fotokopian yang tidak diambil pemiliknya. Dapat anda beli dengan harga murah, cukup memberikan senyum yang manis! J

Bab 2

Bab ini adalah bab yang paling membutuhkan kerja keras, karena anda harus mencari landasan teori dari kedua variabel yang anda gunakan.

Ketentuannya adalah sebagai berikut. Minimal 3 teori dari buku asing, 1 teori dari buku indonesia, 1 teori dari internet.

Ada beberapa pembimbing yang meminta tahun penerbitan tidak terlalu tua, minimal tahun 1990an, lebih bagus lagi tahun 2000an.

Alternatif tempat mencari teori-teori tersebut, selain dari perpus UNJ yang kebetulan buku-bukunya terbitan tahun yang lampau, anda bisa mengunjungi perpus diknas (sebelah ratu plaza,sudirman). Buka hari senin-jumat jam 9pagi-8malam, serta hari sabtu jam 9pagi-2siang. Pengalaman saya, buku-buku di sana sebagian besar buku terbitan tahun 2000an, banyak literatur asing, banyak kliping artikel pendidikan, jurnal-jurnal pendidikan, hotspot, dan tempatnya nyaman sehingga bisa konsentrasi menulis thesis. Kalau anda beruntung,bisa bertemu Prof. Hasan, karena beliau lumayan sering membaca-baca di sana J

PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan judul yang saya contohkan sebelumnya, maka dapat dibuat perumusan

masalahnya sebagai berikut:

bagaimanakah disiplin kerja dapat meningkatkan produktivitas pegawai di PT telkom Bandung?”

Rumusan permasalahan di atas dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa pertanyaan di bawah ini:

1. Bagaimanakah disiplin kerja di PT telkom, Bandung?

2. Bagaimanakah disiplin kerja dapat meningkatkan produktivitas pegawai di PT

Telkom, Bandung?

3. bagaimanakah produktivitas pegawai di PT telkom Bandung?

Identifikasi dan pembatasan masalah

Identifikasi masalah berisi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul dari latar belakang yang telah anda uraikan sebelumnya. Bisa terdiri dari 5 pertanyaan atau lebih

Pembatasan masalah dapat diawali dengan kalimat: ‘karena terlalu luasnya lingkup penelitian, maka penulis membatasi penelitian hanya pada disiplin kerja dalam rangka peningkatan produktivitas pegawai di PT Telkom, Bandung’

Dapat juga menggunakan kalimat lain yang pada intinya adalah membatasi penelitian anda.

BAB I (latar belakang)

Uraikan latar belakang permasalahan anda. Serta jabarkan kenapa anda memilih lokasi penelitian yang anda gunakan, sebutkan keunikan lokasi tersebut.

Misalnya anda ingin meneliti rumusan masalah yang telah saya sebutkan sebelumnya (disiplin kerja dalam rangka peningkatan produktivitas pegawai PT Telkom, Bandung), maka anda perlu menjelaskan hal-hal apa yang unik dari PT Telkom Bandung sehingga anda tertarik meneliti di sana. Misalnya, ada data dari internet atau surat kabar yang menyebutkan bahwa tingkat disiplin pegawai di sana sangat rendah. Maka hal tersebut HARUS anda cantumkan pada latar belakang.

DAFTAR ISI PROPOSAL PENELITIAN DESKRIPTIF KUALITATIF

LEMBAR PERSETUJUAN

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah

C. Pembatasan Masalah

D. Perumusan Masalah

E. Kegunaan Penelitian

BAB II. ACUAN TEORITIK

A. Disiplin Kerja

B. Produktivitas Pegawai

C. Disiplin Kerja dalam rangka meningkatkan produktivitas pegawai

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

B. Tempat dan Waktu Penelitian

C. Metode Penelitian

D. Unit Analisis

E. Instrumen Penelitian

F. Teknik Pengumpulan Data

G. Teknik Analisis Data

DAFTAR PUSTAKA .

MENGAJUKAN PROPOSAL PENELITIAN

Setelah rumusan masalah disetujui, jangan buang waktu lagi! Segeralah menulis, setidaknya Bab I terlebih dahulu. Ada beberapa pembimbing yang meminta per bab, namun ada juga yang meminta langsung 3 bab. Kita ikuti saja aturan permainan yang ada.

Aturan penulisan dapat dilihat pada buku panduan penulisan thesis dan disertasi hal 49-52.

Secara singkat akan saya coba jabarkan di sini.

- Kertas kuarto (letter) berat 80 gr.

- Huruf Arial 12

- spasi 2

- margin: 4 cm (atas), 4 cm (kiri), 3 cm (kanan), 3 cm

(bawah)

- Nomor halaman di kanan atas, kecuali untuk bab baru

terletak di bawah.

MENGAJUKAN RUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian kualitatif, rumusan masalah biasanya diawali dengan kata tanya “Bagaimanakah…..?”

Misalnya: Bagaimanakah disiplin kerja dapat meningkatkan produktivitas pegawai di UNJ?

Untuk lebih jelasnya dapat membuka website Prof.Dr. I Made Putrawan: putrawan.com (tanpa www.)

Yang terpenting adalah menentukan variabel yang akan kita pakai. Beberapa contoh variabel dapat dilihat pada thesis-thesis terdahulu yang ada di Perpustakaan Pascasarjana UNJ. Sekian ratus variabel yang ada dalam thesis terdahulu, dapat kita kombinasikan satu sama lain.

Sekali lagi, KESABARAN sangat diperlukan di sini, karena belum tentu rumusan masalah yang kita ajukan lagsung diterima pembimbing. Yang terpenting adalah JANGAN MENYERAH!!! Coba terus masukkan rumusan masalah ke pembimbing (tentunya setelah kita benar-benar memahami variabel yang kita ajukan)

MENENTUKAN PEMBIMBING

Dalam hal ini, pembimbing ditentukan dari Prodi masing-masing.

Mahasiswa diperkenankan mengganti pembimbing apabila ada kejadian luar biasa, seperti pembimbing meninggal atau berada di lokasi yang tidak memungkinkan untuk ditemui.

Form penggantian pembimbing dapat dilihat di meja Bu Nanar. Setelah ditandatangi Ketua Prodi, form tersebut diserahkan ke Direktur.

Apabila mengganti pembimbing, ada baiknya melihat ketersediaan waktu pembimbing untuk melakukan konsultasi. Bagaimanapun juga tatap muka sangat diperlukan dalam kelancaran proses bimbingan.

Apabila pembimbing 1 tidak mau ditemui, kunjungi pembimbing 2, namun apabila pembimbing 2 juga tidak mau ditemui….apa boleh buat? SABAR adalah kunci utama! Titipkan saja naskah kita melalui asistennya. Setelah beberapa hari (atau beberapa minggu), biasanya naskah sudah dapat diambil dengan beberapa catatan dari pembimbing.

Buat janji terlebih dahulu dengan pembimbing atau asistennya sebelum melakukan konsultasi

BAGAIMANAKAH MEMBUAT PROPOSAL THESIS KUALITATIF? (PART 1...)

Ada beberapa tahapan yang harus dilalui

sebelumkita lulus dari Pascasarjana UNJ

tercinta ini J :

Menentukan pembimbing
Mengajukan rumusan masalah
Mengajukan proposal penelitian (Bab 1-3)
Seminar proposal
Mengajukan perbaikan proposal
Ujian komprehensif
Ujian sumatif
Mengajukan perbaikan thesis
WISUDA!!!!!

DESAIN-DESAIN EVALUASI

Pengertian desain evaluasi adalah suatu kondisi dan prosedur yang diciptakan oleh evaluator untuk mengumpulkan data. Kebanyakan pendidik ketika mendengar istilah “evaluasi” akan langsung mengarah kepada desain penelitian yang sudah umum seperti desain pre test dan desain post test. Padahal istilah evaluasi harusnya dimaknai dalam konteks yang lebih besar.

Evaluator pendidikan biasanya mendasarkan pekerjaan mereka terhadap bukti, bukan sekedar intuisi belaka. Bukti-bukti yang digunakan dalam evaluasi sangat bervariasi, contohnya: kinerja murid, tes, pengamatan pada tingkah laku murid,dll.

Kerangka kerja yang digunakan evaluator sangat beragam, namun meskipun kerangka kerja tersebut sangat berguna bagi evaluator dalam mengambil keputusan, namun tetap dibutuhkan suatu desain evaluasi untuk membantu evaluator bagaimana caranya pengambilan keputusan yang tepat.

DESAIN DENGAN FOKUS PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Meskipun banyak desain dalam evaluasi, yang terpenting adalah bagaimana suatu keputusan diambil dari paparan data yang ada. Kenyataan yang sering terjadi, evaluator terlalu disibukkan mencari desain evaluasi yang terbaik sehingga terkadang mereka justru melupakan ”data” yang merupakan hal utama dalam evaluasi.

Evaluator harus selektif dalam mengambil keputusan, mereka harus selalu mengajukan pertanyaan:

  • Lalu selanjutnya apa?
  • Apakah dengan adanya data ini, akan membawa perubahan?

Apabila pertanyaan-pertanyaan di atas memiliki beragam jawaban, maka evaluator perlu memilih desain evaluasi yang paling cocok.

DESAIN YANG BERASAL DARI TEORI DI BUKU VS DESAIN UNTUK DUNIA NYATA

Sebelum membahas mengenai teknik yang akan digunakan dalam pengumpulan data, kita harus mampu melapangkan dada terlebih dahulu akan kenyataan yang ada tentang evaluasi.

Evaluasi adalah suatu dunia yang terkadang tidak selalu seindah dalam teori. Evaluator jangan selalu mengharapkan bahwa setelah proses evaluasi yang dilakukan olehnya maka akan membawa dampak positif seperti: (1) akan disambut dengan antusias, (2) akan membuat perbedaan nyata dalam program- program pendidikan selanjutnya. Evaluator yang demikian biasanya akan sangat kaget apabila kenyataan yang ada tidak seindah harapan. Jadi hal penting yang harus dimiliki oleh setiap evaluator adalah kemampuan mengantisipasi keadaan apabila tidak berjalan sesuai dengan teori di buku-buku.

ALASAN-ALASAN YANG MENDASARI DILAKSANAKANNYA EVALUASI PENDIDIKAN

Penulis mempercayai bahwa evaluasi yang paling mendidik berasal dari keinginan dari dalam untuk memperbaiki kualitas bidang pendidikan. Sebagai contoh: kita akan mengevaluasi suatu pengajaran dan memperbaikinya setelah pengajaran itu berakhir. Selain itu juga kita dapat mengevaluasi mutu pendidikan agar dapat memperbaiki pendidikan itu sendiri atau justru melakukan perbaikan-perbaikan yang dirasa perlu.

Pada kenyataannya, banyak negara atau negara bagian yang mengumpulkan dana untuk program pendidikan, membutuhkan evaluasi akan program tersebut, karena apabila tidak dievaluasi, maka dana untuk program berikutnya tidak akan turun. Oleh karena itu banyak pendidik melakukan evaluasi pendidikan bukan karena kemauan mereka, tapi mereka terpaksa melakukan evaluasi agar mendapatkan uang extra yang disebut-sebut menjadi persyaratan evaluasi. Untuk para pendidik ini, evaluasi adalah sebagai kegiatan ritual yang harus mereka lakukan.

Evaluasi juga terkadang dijadikan tameng. Apabila suatu program sekolah mendapat kritikan, maka pihak sekolah akan mengatakan ’Program ini sedang dievaluasi.’

Terkadang evauasi pendidikan dilakukan hanya karena mengikuti trend, sehingga para evaluator yang melakukan evaluasi akan dianggap lebih berpendidikan dan bermartabat.

Evaluasi terkadang digunakan sebagai cara untuk menyingkirkan staf administrasi atau pengajar yang tidak terampil atau mungkin tidak dapat bekerjasama.

Dari beberapa alasan di atas, seorang calon evaluator harus belajar untuk benar-benar memahami motif apa yang ada di balik suatu evaluasi. Hal ini penting karena pengenalan akan alasan utama pelaksanaan evaluasi maupun ’alasan lain di belakangnya’ akan sangat mempengaruhi desain evaluasi yang akan dilakukan, bahkan bisa mempengaruhi apakah evaluasi tersebut tetap dilanjutkan atau tidak.

MENABUR BENIH, MENSTERILKAN TANAH, DAN MEMUPUK

Ada suatu perumpamaan tentang menabur benih yang jatuh diatas batu, dimana mereka tidak tumbuh dengan baik. Begitu juga para pemula pengevaluasi terkadang berasumsi bahwa usaha mereka pasti akan berhasil, seperti halnya benih yang ditabur di atas padang rumput yang subur, dan berbunga begitu merekah. Hal ini sebagai pembenaran akan perubahan bentuk pada usaha keras pendidikan. Akan tetapi evaluasi pada dunia nyata bahwa lebih sering menjadi tumpukan batu kerikil dari pada menjadi padang rumput yang subur, hal ini karena para pendidik tidak menaruh perhatian pada hasil evaluasi pendidikan, mereka hanya memikirkan apa yang baik dan buruk tentang program mereka, dan menganggap bukti dari evaluasi tidaklah penting.

Terkadang ada beberapa orang yang dapat dikategorikan malas dan tidak memiliki kemauan untuk memperluas dan memperbaiki teknik mengajarnya. Orang-orang semacam ini terkadang sulit ditangani karena apapun hasil dari evaluasi yang dilakukan, mereka tetap menganggap cara mereka lah yang terbaik dan tidak memedulikan bukti dari evaluasi tersebut.

Menghadapi keadaan yang demikian, para evaluator harus mampu merancang desain evaluasi sedemikian rupa sehingga lepas dari cacat yang mungkin digunakan orang-orang tersebut untuk melawan hasil evaluasi yang telah dilakukan. Namun bagaimanapun mulusnya suatu desain, akan tetap terjadi pertentangan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan hasil tersebut, maka jalan keluar yang kedua adalah melakukan teknik pendekatan sosial untuk menjembatani pertentangan yang terjadi. Seorang evaluator juga harus memiliki kemampuan untuk melakukan proses pendekatan yang baik kepada pihak-pihak yang akan dievaluasi.

FAKTOR-FAKTOR YANG MELEMAHKAN SUATU BENTUK EVALUASI

Seorang evaluator harus berhati-hati dengan faktor-faktor yang yang mungkin menyebabkan kecacatan pada desain evaluasi sehingga interpretasi data menjadi sulit dilakukan. Faktor-faktor ini dijabarkan oleh Campbell dan Stanley dalam pembahasan mereka mengenai desain penelitian eksperimental. Mereka menyebutkan 8 variabel yang mungkin menyebabkan interpretasi terhadap data sulit dilakukan. Kedelapan variabel itu adalah:

1. SEJARAH

Ketika suatu program dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dan dalam jangka waktu tersebut ada program lain yang juga dilaksanakan, maka hal ini akan menyebabkan hasil akhir yang menjadi tidak jelas. Sebagai contoh: program spesial remedial sedang dilaksanakan di sebuah SD, sementara pada saat yang bersamaan, stasiun TV pendidikan lokal menayangkan program pelajaran matematika SD. Ketika pada akhirnya dari hasil evaluasi menunjukkan ada peningkatan nilai matematika pada anak SD, tidak jelas apakah disebabkan oleh remedial atau oleh program TV.

2. KEDEWASAAN.

Pada saat sebuah perlakuan sedang dalam proses, mungkin tejadi pertumbuhan alami pada murid yang diteliti, baik secara biologis, psikologis, maupun sosiologis. Pertumbuhan ini akan menyebabkan hasil evaluasi menjadi tidak jelas. Contohnya: hasil akhir tes membaca murid-murid kelas 1 pada akhir tahun pelajaran meningkat. Namun peningkatan ini tidak jelas apakah disebabkan oleh pembelajaran yang mereka terima, atau karena mereka berusia 9 bulan lebih tua?

3. UJIAN.

Siswa yang sudah 2 kali mengikuti tes, seperti dalam desain pretes-posttes, biasanya akan lebih ‘ahli’ pada saat posttes. Hal ini membingungkan. Apakah siswa tersebut menjadi ‘ahli’ karena memang diberi perlakuan, atau karena memang dia sudah pernah mengikuti tes yang hampir mirip pada saat pretes?

4. INSTRUMENTASI.

Jika alat ukur diganti selama proses evaluasi, maka perubahan yang terjadi pada murid terkadang dikatkan dengan perubahan alat ukur tersebut, bukan karena fenomena pendidikan yang sedang dievaluasi. Contohnya: ketika 2 jenis tes digunakan untuk melakukan evaluasi, di mana pretes lebih sulit dibandingkan posttes, maka ketika terkadi peningkatan hasil siswa pada posttes, lebih sering dikaitkan dengan masalah sulit-mudah ini, bukan karena adanya program yang diberikan.

5. KETIDAKSTABILAN.

Ketika pengukuran yang digunakan dalam evaluasi tidak terlalu stabil, maka hasil akhir yang didapatkan juga menjadi tidak jelas.

6. SELEKSI.

Dalam suatu evaluasi, hasil akhir biasanya menjadi tidak jelas apabila individu yang dimasukkan dalam kelompok penelitian memiliki perbedaan yang sangat besar. Sebagai contoh: sekelompok siswa yang rajin belajar dan bermotivasi tinggi diberi perlakuan X, sementara perlakuan Y diberikan kepada sekelompok siswa yang malas, maka seolah-oleh perlakuan X akan lebih efektif daripada perlakuan Y.

7. MORTALITAS.

Ketika dua atau lebih kelompok digunakan dalam penelitian, dan salah satu atau beberapa individu keluar dari kelompok, maka hasil evaluasi menjadi tidak jelas. Contohnya: 2 kelompok yang diberi perlakuan sedang diteliti mengenai pendapat mengenai sekolah. Dalam penelitian, seorang atau beberapa siswa dari salah satu kelompok, pindah ke sekolah lain, sementara siswa-siswa ini merupakan siswa yang memiliki pandangan positif terhadap sekolah. Karena kehilangan siswa ini, maka kelompok yang lain seolah-oleh terlihat lebih baik daripada kelompok yang ditinggalkan.

8. STATISTIK REGRESI.

Ketika siswa yang dipakai dalam evaluasi adalah siswa-siswa dengan skor yang terletak jauh dari keseimbangan standar deviasi statistik nilai (terlalu tinggi atau lebih seringnya memiliki skor yang terlalu rendah), maka ketika ada peningkatan nilai terhadap siswa yang diteliti ini, seolah-oleh karena adanya suatu perlakuan tertentu.

STRATEGI-STRATEGI UMUM UNTUK MEMPERKUAT DESAIN EVALUASI

Terdapat dua teknik yang digunakan dalam desain evaluasi untuk menghindari kedelapan variabel di atas. Teknik tersebut adalah penggunaan kelompok kontrol atau kelompok perbandingan, sedangkan teknik yang kedua adalah pemberian perlakuan secara acak kepada subyek yang diteliti (randomisasi).

KELOMPOK KONTROL DAN KELOMPOK PERBANDINGAN

Selama beberapa dekade, peneliti-peneliti dalam bidang lmu perilaku melakukan penelitian dengan menilai perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan.

Dengan menggunakan kelompok kontrol ini, peneliti bisa menghindari kedelapan variabel yang mungkin akan menyebabkan kebingungan pada saat interpretasi data. Sebagai contoh, ketika sejarah atau perubahan alat ukur mengacaukan interpretasi data, maka dengan menggunakan kelompok kontrol, peneliti bisa mengidentifikasi pengaruh faktor-faktor tersebut.

Namun meskipun peneliti ini mampu mengidentifikasi pengaruh pemberian perlakuan pada kelompok, namun biasanya hal ini akan dihindari oleh evaluator pendidikan, karena tujuan dari evaluasi pendidikan adalah mengetahui program apa yang paling efektif. Maka ketika evaluator pendidikan akan melakukan penelitian tentang efektivitas suatu pogram, maka sebaiknya jangan menggunakan kelompok yang diberi perlakuan dan yang tidak diberi perlakuan, namun bagaimana caranya menggunakan kelompok perbandingan yang menggunakan alternatif perlakuan yang mungkin diterapkan. Michael Criven memberikan contoh, ketika evaluator ingin meneliti mengenai program pembelajaran berdana rendah, maka sebaiknya membandingkan antara 2 kelompok siswa, yang satu memakai program berdana rendah, yang satu lagi menggunakan program berdana tinggi. Maka akan terlihat hasilnya, di mana hasilnya biasanya siswa dari kelompok program berdana rendah akan sama baiknya, atau justru lebih baik dari kelompok siswa berdana tinggi.

Meskipun demikian, akan selalu ada keadaan di mana penggunaan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan tetap diperlukan.

RANDOMISASI

Dalam menarik kesimpulan dari penggunaan kelompok perbandingan yang secara umum sejajar, teknik terbaik yang digunakan adalah memilih subyek secara acak. Sebagai contoh: ketika kita ingin membandingkan tiga program fisika kepada siswa, maka cara terbaik memilih siswa yang akan digunakan sebagai subyek adalah dipilih secara acak.

Pengacakan adalah cara yang paling baik untuk menjamin bahwa setiap kelompok memiliki keseimbangan.

Particularistic Ploys (Trik-trik lain yang mungkin dilakukan oleh evaluator)

Selain kedua teknik umum yang telah dijabarkan di atas, ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan oleh evaluator untuk menginterpretasikan data. Yang harus terus diingat adalah bahwa tujuan dari evaluasi adalah untuk mengumpulkan data sehingga dapat memberikan interpretasi yang berguna mengenai suatu fenomena pendidikan. Dalam pelaksanaannya, masih dimungkinkan pengambilan interpretasi data yang masuk akal meskipun tanpa penggunaan kedua teknik di atas.

Sebagai contoh: evaluator bisa saja menggunakan periode waktu penelitian yang pendek sehingga variabel sejarah dan pematangan dapat dihindari. Atau untuk menghindari variabel statistik regresi, maka subyek penelitian diambil dari nilai tengah distribusi statistik.

Inti utamanya adalah, setiap evaluator pendidikan harus memiliki kemampuan untuk mencari trik-trik yang tepat untuk digunakan, tidak mesti tergantung dari kedua teknik umum di atas.

Adversary Evaluation Design

Untuk menggambarkan tipe pengambilan data yang paling inovatif, evaluator biasanya menggunakan desain yang disebut desain evaluasi lawan (adversary evaluation desain). Desain ini terinspirasi dari acara debat politik, di mana ada pihak yang ’di atas angin’ dan ada pihak yang ’kalah’.

Para ahli yang mendukung teori ini mengatakan bahwa, apabila ada 2 kelompok yang akan dievaluasi, kelompok yang satu berada dalam situasi konflik, maka kelompok yang lain yang berada pada situasi non-konflik akan memberikan hasil yang lebih baik.

Desain ini dipakai untuk menginterpretasikan data dari 2 orang evaluator. Misalnya dalam hal membandingkan program x dan program Y. Data yang diperoleh kedua evaluator mungkin sama, tapi hasil interpretasi datanya mungkin bebeda, tergantung kondisi yang dialami evaluator pada saat melakukan evaluasi.

BEBERAPA ALTERNATIF DALAM DESAIN EVALUASI

Setelah membahas teknik inovatif di atas, sekarang kita kembali kepada desain yang umum. Ada beberapa desain evaluasi yang umum digunakan, masing-masing harus disesuaikan dengan keadaan. Ada yang memungkinkan untuk dilakukan pengacakan, ada yang tidak. Ada juga yang memungkinkan penggunaan kelompok kontrol, namun ada juga yang tidak. Secara singkat, beberapa desain yang akan diungkapkan di sini harus dipahami oleh para evaluator.

Penjelasan mengenai desain ini, diadopsi dari penjelasan Campbell dan Stanley, pada penelitian mereka yang berfokus pada teknik pengajaran. Mereka menyarankan, sebuah desain harus relevan dengan tujuan dari evaluasi itu sendiri. Jadi desain-desain yang akan dibahas ini adalah desain yang mengacu kepada pendapat kedua ahli di atas. Mereka juga memberikan lambang-lambang simbolis untuk menjelaskan desain-desain evaluasi:

R = Random assignment (pemberian tugas secara acak)

T = Treatment (pemberian perlakuan)

M= Measurement (pengukuran)

1. The One-Shot Case Study (Desain yang terdiri dari satu studi kasus)

Walaupun beberapa penulis menetapkan The One-Shot Case Study sulit digunakan untuk menghasilkan data yang dapat diandalkan, namun ada beberapa keadaan di mana desain ini mungkin digunakan oleh evaluator. Desain ini memiliki beberapa kelemahan ketika menerapkannya. Yang terutama adalah karena kemungkinan beberapa dari kedelapan variabel, seperti sejarah, pematangan, seleksi, dan mortality, mungkin masuk untuk mengacaukan interpretasi data.

Skema dari desain ini terlihat seperti berikut:

T M

­­One – Shot Case Study

Desain ini hanya mengukur apa yang terjadi pada siswa setelah diberi perlakuan, karenanya subyek yang dilibatkan hanya satu atau dua saja, sehingga hasilnya tidak bisa digunakan untuk mewakili kelompok.

2. The One-Group Pretest-Posttest Design (desain yang menggunakan pretes-posttes pada satu kelompok)

Desain lain yang mungkin memberikan hasil yang lemah adalah The One-Group Pretest-Posttest. Design ini terdiri dari Pretest dan Posttest , yang di antaranya diberi sedikit perlakuan. Secara umum desainnya seperti ini:

M T M

One-Group Pretest-Posttest Design

Tehnik ini memiliki banyak kelemahan, karena variabel seperti sejarah, pematangan, testing, dan instrumentasi mungkin masuk untuk mengacaukan hasil interpretasi data. Selain itu, karena tidak ada pembanding, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa hasil yang didapat adalah yang paling benar.

Untuk menghindari kehadiran variabel yang tidak diinginkan, maka desain ini dapat dimodifikasi oleh evaluator. Misalnya untuk menghindari variabel sejarah dan pematangan, maka jangka waktu penelitian dibuat pendek. Untuk menghindari variabel instrumentasi, maka pretes dan posttes yang digunakan berasal dari jenis tes yang sama.

3. Desain kontrol grup non-ekivalen

Desain ini membutuhkan 2 atau lebih dari 2 kelompok, semuanya melalui tahapan pre-test, pemberian perlakuan, lalu dilanjutkan dengan post-test. 1 kelompok dipisahkan sebagai kelompok kontrol, sehingga tidak diberi perlakuan. Secara umum desainnya akan sebagai berikut:

Grup 1 : M → T → M

Grup 2 : M M

Dalam pendidikan, evaluator selalu terlibat dalam analisis perbandingan (komparatif), maka desainnya biasanya akan berbetuk seperti di bawah ini:

Grup 1 : M → T1 → M Grup 1 : M → T1 → M

Grup 2 : M → T2 → M Grup 2 : M → T2 → M

Grup 3 : M → T3 → M Grup 3 : M M

Dalam desain di sebelah kiri, 3 perlakuan dibandingkan satu sama lain, sementara dalam desain yang ada di sebelah kanan, 2 perlakuan dibandingkan satu sama lain dan juga dibandingkan dengan grup kontrol.

Desain ini dapat diterapkan pada keadaan yang tidak memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar grup secara acak (randomisasi). Sehingga, semakin mirip hasil yang didapat dari perbandingan antar grup, maka interpretasi data melalui desain ini akan semakin akurat dan mudah dilakukan.

Kekurangan dari desain ini adalah apabila individu yang dilibatkan dalam kelompok, memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Misalnya satu grup terdiri dari sekelompok siswa yang rajin dan semangat belajar, sementara kelompok yang lain terdiri dari siswa yang malas. Maka perbandingan antar kelompok ini (yang dilihat dari hasil pre-test dan post-test) akan memberikan penafsiran yang salah. Apabila terjadi kasus seperti ini, maka kita bisa mengeliminasi pelajar-pelajar yang terlalu ’aneh’ untuk diikutkan dalam post-test. Sebagai contoh, kita ingin membandingkan 2 prosedur instruksional menggunakan 2 kelompok siswa yang kita percaya bisa dibandingkan. Ternyata setelah hasil pre-test, kita menemukan 15 siswa yang memiliki skor sangat tinggi dan 7 siswa yang memiliki nilai sangat rendah. Dalam hal ini, perlakuan tetap bisa diberikan untuk semua murid dan dilanjutkan dengan post-test, tapi hasil 22 orang siswa tersebut jangan ikut dianalisa. Akan lebih baik lagi apabila kita bisa menggabungkan data lain yang relevan dengan dengan data post-test, contohnya data rata-rata test sebelumnya atau rata-rata tes masuk sekolah, kemudian dicocokkan dengan hasil perbandingan kedua grup tersebut.

Sebagian besar evaluator percaya bahwa faktor yang paling mempengaruhi dalam desain yang tidak acak adalah perbedaan antara siswa yang dilibatkan.

4. Desain kontrol grup menggunakan pre-test dan post-test

Desain ini tepat digunakan apabila keadaan acak dimungkinkan. Secara umum desainnya adalah:

Grup 1 : R M → T → M

Grup 2 : R M M

Desain ini bisa divariasikan menggunakan beberapa perlakuan. Penggunaan kontrol grup mungkin digunakan, bisa juga tidak. Kelemahan dari desain ini adalah apabila pretes yang digunakan mempengaruhi respon subyek terhadap perlakuan yang diberikan.

5. Desain menggunakan kontrol grup dengan penggunaan post-tes

Desain ini diterapkan apabila keadaan acak dimungkinkan secara umum desainnya adalah sebagai berikut:

Grup 1 : R T M

Grup 2 : R M

Desain ini hampir sama dengan desain no.4, hanya saja pada desain ini tidak digunakan pretes. Pengacakan subyek ke dalam kelompok akan membuat kelompok menjadi seimbang. Karena evaluator pendidikan biasanya ingin membandingkan 2 atau lebih perlakuan, maka desainnya dapat menajdi seperti ini:

Grup 1 : R T1 M

Grup 2 : R T2 M

Grup 3 : R M

Tidak seperti desain multigrup sebelumnya, pada desain ini, penggunaan grup kontrol mutlak dilakukan.

6. The Interrupted Time-Series Design

Desain yang terakhir dijabarkan adalah desain ini, yang memiliki perbedaan dengan desain-desain sebelumnya. Secara umum desainnya adalah sebagai berikut:

M1 → M2 → M3 → T → M4 → M5

Dalam desain ini, beberapa pengukuran diberikan sebelum dan sesudah perlakuan. Semakin banyak pengukuran yang dilakuakn akan semakin baik. Analisis data statistik menggunakan model ini agak sedikit rumit, namun data yang dihasilkan dari desain ini lebih dapat diandalkan. Desain ini juga menyajikan pengaruh dari program pendidikan yang diterapkan dalam jangka waktu tertentu, jadi bisa dilihat pengaruhnya dari masa ke masa. Desain ini juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi terhadap program yang mmang direncanakan tidak memiliki grup perbandingan.

Dalam beberapa kondisi, desain ini bisa dimodifikasi menjadi 2 atau lebih grup, bahkan randomisasi bisa diterapkan pada desain ini.

KESIMPULAN

Selain desain-desain yang sudah diabarakan di sini, masih ada beberapa desain yang lain yang diungkapkan oleh ahli-ahli evaluasi pendidikan lainnya. Yang terpenting adalah, tahap pemilihan desain, tanpa evaluator melupakan data penelitian. Selain itu, evaluator juga perlu memahami keadaan untuk dapat menerapkan desain yang terbaik. Terkadang ada situasi yang memungkinkan untuk menerapkan beberapa desain, namun ada juga situasi yang hanya cocok untuk 1 jenis desain saja. Sekali lagi pemahaman evaluator akan situasi sangat diperlukan.