Rabu, 30 April 2008

DESAIN-DESAIN EVALUASI

Pengertian desain evaluasi adalah suatu kondisi dan prosedur yang diciptakan oleh evaluator untuk mengumpulkan data. Kebanyakan pendidik ketika mendengar istilah “evaluasi” akan langsung mengarah kepada desain penelitian yang sudah umum seperti desain pre test dan desain post test. Padahal istilah evaluasi harusnya dimaknai dalam konteks yang lebih besar.

Evaluator pendidikan biasanya mendasarkan pekerjaan mereka terhadap bukti, bukan sekedar intuisi belaka. Bukti-bukti yang digunakan dalam evaluasi sangat bervariasi, contohnya: kinerja murid, tes, pengamatan pada tingkah laku murid,dll.

Kerangka kerja yang digunakan evaluator sangat beragam, namun meskipun kerangka kerja tersebut sangat berguna bagi evaluator dalam mengambil keputusan, namun tetap dibutuhkan suatu desain evaluasi untuk membantu evaluator bagaimana caranya pengambilan keputusan yang tepat.

DESAIN DENGAN FOKUS PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Meskipun banyak desain dalam evaluasi, yang terpenting adalah bagaimana suatu keputusan diambil dari paparan data yang ada. Kenyataan yang sering terjadi, evaluator terlalu disibukkan mencari desain evaluasi yang terbaik sehingga terkadang mereka justru melupakan ”data” yang merupakan hal utama dalam evaluasi.

Evaluator harus selektif dalam mengambil keputusan, mereka harus selalu mengajukan pertanyaan:

  • Lalu selanjutnya apa?
  • Apakah dengan adanya data ini, akan membawa perubahan?

Apabila pertanyaan-pertanyaan di atas memiliki beragam jawaban, maka evaluator perlu memilih desain evaluasi yang paling cocok.

DESAIN YANG BERASAL DARI TEORI DI BUKU VS DESAIN UNTUK DUNIA NYATA

Sebelum membahas mengenai teknik yang akan digunakan dalam pengumpulan data, kita harus mampu melapangkan dada terlebih dahulu akan kenyataan yang ada tentang evaluasi.

Evaluasi adalah suatu dunia yang terkadang tidak selalu seindah dalam teori. Evaluator jangan selalu mengharapkan bahwa setelah proses evaluasi yang dilakukan olehnya maka akan membawa dampak positif seperti: (1) akan disambut dengan antusias, (2) akan membuat perbedaan nyata dalam program- program pendidikan selanjutnya. Evaluator yang demikian biasanya akan sangat kaget apabila kenyataan yang ada tidak seindah harapan. Jadi hal penting yang harus dimiliki oleh setiap evaluator adalah kemampuan mengantisipasi keadaan apabila tidak berjalan sesuai dengan teori di buku-buku.

ALASAN-ALASAN YANG MENDASARI DILAKSANAKANNYA EVALUASI PENDIDIKAN

Penulis mempercayai bahwa evaluasi yang paling mendidik berasal dari keinginan dari dalam untuk memperbaiki kualitas bidang pendidikan. Sebagai contoh: kita akan mengevaluasi suatu pengajaran dan memperbaikinya setelah pengajaran itu berakhir. Selain itu juga kita dapat mengevaluasi mutu pendidikan agar dapat memperbaiki pendidikan itu sendiri atau justru melakukan perbaikan-perbaikan yang dirasa perlu.

Pada kenyataannya, banyak negara atau negara bagian yang mengumpulkan dana untuk program pendidikan, membutuhkan evaluasi akan program tersebut, karena apabila tidak dievaluasi, maka dana untuk program berikutnya tidak akan turun. Oleh karena itu banyak pendidik melakukan evaluasi pendidikan bukan karena kemauan mereka, tapi mereka terpaksa melakukan evaluasi agar mendapatkan uang extra yang disebut-sebut menjadi persyaratan evaluasi. Untuk para pendidik ini, evaluasi adalah sebagai kegiatan ritual yang harus mereka lakukan.

Evaluasi juga terkadang dijadikan tameng. Apabila suatu program sekolah mendapat kritikan, maka pihak sekolah akan mengatakan ’Program ini sedang dievaluasi.’

Terkadang evauasi pendidikan dilakukan hanya karena mengikuti trend, sehingga para evaluator yang melakukan evaluasi akan dianggap lebih berpendidikan dan bermartabat.

Evaluasi terkadang digunakan sebagai cara untuk menyingkirkan staf administrasi atau pengajar yang tidak terampil atau mungkin tidak dapat bekerjasama.

Dari beberapa alasan di atas, seorang calon evaluator harus belajar untuk benar-benar memahami motif apa yang ada di balik suatu evaluasi. Hal ini penting karena pengenalan akan alasan utama pelaksanaan evaluasi maupun ’alasan lain di belakangnya’ akan sangat mempengaruhi desain evaluasi yang akan dilakukan, bahkan bisa mempengaruhi apakah evaluasi tersebut tetap dilanjutkan atau tidak.

MENABUR BENIH, MENSTERILKAN TANAH, DAN MEMUPUK

Ada suatu perumpamaan tentang menabur benih yang jatuh diatas batu, dimana mereka tidak tumbuh dengan baik. Begitu juga para pemula pengevaluasi terkadang berasumsi bahwa usaha mereka pasti akan berhasil, seperti halnya benih yang ditabur di atas padang rumput yang subur, dan berbunga begitu merekah. Hal ini sebagai pembenaran akan perubahan bentuk pada usaha keras pendidikan. Akan tetapi evaluasi pada dunia nyata bahwa lebih sering menjadi tumpukan batu kerikil dari pada menjadi padang rumput yang subur, hal ini karena para pendidik tidak menaruh perhatian pada hasil evaluasi pendidikan, mereka hanya memikirkan apa yang baik dan buruk tentang program mereka, dan menganggap bukti dari evaluasi tidaklah penting.

Terkadang ada beberapa orang yang dapat dikategorikan malas dan tidak memiliki kemauan untuk memperluas dan memperbaiki teknik mengajarnya. Orang-orang semacam ini terkadang sulit ditangani karena apapun hasil dari evaluasi yang dilakukan, mereka tetap menganggap cara mereka lah yang terbaik dan tidak memedulikan bukti dari evaluasi tersebut.

Menghadapi keadaan yang demikian, para evaluator harus mampu merancang desain evaluasi sedemikian rupa sehingga lepas dari cacat yang mungkin digunakan orang-orang tersebut untuk melawan hasil evaluasi yang telah dilakukan. Namun bagaimanapun mulusnya suatu desain, akan tetap terjadi pertentangan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan hasil tersebut, maka jalan keluar yang kedua adalah melakukan teknik pendekatan sosial untuk menjembatani pertentangan yang terjadi. Seorang evaluator juga harus memiliki kemampuan untuk melakukan proses pendekatan yang baik kepada pihak-pihak yang akan dievaluasi.

FAKTOR-FAKTOR YANG MELEMAHKAN SUATU BENTUK EVALUASI

Seorang evaluator harus berhati-hati dengan faktor-faktor yang yang mungkin menyebabkan kecacatan pada desain evaluasi sehingga interpretasi data menjadi sulit dilakukan. Faktor-faktor ini dijabarkan oleh Campbell dan Stanley dalam pembahasan mereka mengenai desain penelitian eksperimental. Mereka menyebutkan 8 variabel yang mungkin menyebabkan interpretasi terhadap data sulit dilakukan. Kedelapan variabel itu adalah:

1. SEJARAH

Ketika suatu program dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dan dalam jangka waktu tersebut ada program lain yang juga dilaksanakan, maka hal ini akan menyebabkan hasil akhir yang menjadi tidak jelas. Sebagai contoh: program spesial remedial sedang dilaksanakan di sebuah SD, sementara pada saat yang bersamaan, stasiun TV pendidikan lokal menayangkan program pelajaran matematika SD. Ketika pada akhirnya dari hasil evaluasi menunjukkan ada peningkatan nilai matematika pada anak SD, tidak jelas apakah disebabkan oleh remedial atau oleh program TV.

2. KEDEWASAAN.

Pada saat sebuah perlakuan sedang dalam proses, mungkin tejadi pertumbuhan alami pada murid yang diteliti, baik secara biologis, psikologis, maupun sosiologis. Pertumbuhan ini akan menyebabkan hasil evaluasi menjadi tidak jelas. Contohnya: hasil akhir tes membaca murid-murid kelas 1 pada akhir tahun pelajaran meningkat. Namun peningkatan ini tidak jelas apakah disebabkan oleh pembelajaran yang mereka terima, atau karena mereka berusia 9 bulan lebih tua?

3. UJIAN.

Siswa yang sudah 2 kali mengikuti tes, seperti dalam desain pretes-posttes, biasanya akan lebih ‘ahli’ pada saat posttes. Hal ini membingungkan. Apakah siswa tersebut menjadi ‘ahli’ karena memang diberi perlakuan, atau karena memang dia sudah pernah mengikuti tes yang hampir mirip pada saat pretes?

4. INSTRUMENTASI.

Jika alat ukur diganti selama proses evaluasi, maka perubahan yang terjadi pada murid terkadang dikatkan dengan perubahan alat ukur tersebut, bukan karena fenomena pendidikan yang sedang dievaluasi. Contohnya: ketika 2 jenis tes digunakan untuk melakukan evaluasi, di mana pretes lebih sulit dibandingkan posttes, maka ketika terkadi peningkatan hasil siswa pada posttes, lebih sering dikaitkan dengan masalah sulit-mudah ini, bukan karena adanya program yang diberikan.

5. KETIDAKSTABILAN.

Ketika pengukuran yang digunakan dalam evaluasi tidak terlalu stabil, maka hasil akhir yang didapatkan juga menjadi tidak jelas.

6. SELEKSI.

Dalam suatu evaluasi, hasil akhir biasanya menjadi tidak jelas apabila individu yang dimasukkan dalam kelompok penelitian memiliki perbedaan yang sangat besar. Sebagai contoh: sekelompok siswa yang rajin belajar dan bermotivasi tinggi diberi perlakuan X, sementara perlakuan Y diberikan kepada sekelompok siswa yang malas, maka seolah-oleh perlakuan X akan lebih efektif daripada perlakuan Y.

7. MORTALITAS.

Ketika dua atau lebih kelompok digunakan dalam penelitian, dan salah satu atau beberapa individu keluar dari kelompok, maka hasil evaluasi menjadi tidak jelas. Contohnya: 2 kelompok yang diberi perlakuan sedang diteliti mengenai pendapat mengenai sekolah. Dalam penelitian, seorang atau beberapa siswa dari salah satu kelompok, pindah ke sekolah lain, sementara siswa-siswa ini merupakan siswa yang memiliki pandangan positif terhadap sekolah. Karena kehilangan siswa ini, maka kelompok yang lain seolah-oleh terlihat lebih baik daripada kelompok yang ditinggalkan.

8. STATISTIK REGRESI.

Ketika siswa yang dipakai dalam evaluasi adalah siswa-siswa dengan skor yang terletak jauh dari keseimbangan standar deviasi statistik nilai (terlalu tinggi atau lebih seringnya memiliki skor yang terlalu rendah), maka ketika ada peningkatan nilai terhadap siswa yang diteliti ini, seolah-oleh karena adanya suatu perlakuan tertentu.

STRATEGI-STRATEGI UMUM UNTUK MEMPERKUAT DESAIN EVALUASI

Terdapat dua teknik yang digunakan dalam desain evaluasi untuk menghindari kedelapan variabel di atas. Teknik tersebut adalah penggunaan kelompok kontrol atau kelompok perbandingan, sedangkan teknik yang kedua adalah pemberian perlakuan secara acak kepada subyek yang diteliti (randomisasi).

KELOMPOK KONTROL DAN KELOMPOK PERBANDINGAN

Selama beberapa dekade, peneliti-peneliti dalam bidang lmu perilaku melakukan penelitian dengan menilai perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan.

Dengan menggunakan kelompok kontrol ini, peneliti bisa menghindari kedelapan variabel yang mungkin akan menyebabkan kebingungan pada saat interpretasi data. Sebagai contoh, ketika sejarah atau perubahan alat ukur mengacaukan interpretasi data, maka dengan menggunakan kelompok kontrol, peneliti bisa mengidentifikasi pengaruh faktor-faktor tersebut.

Namun meskipun peneliti ini mampu mengidentifikasi pengaruh pemberian perlakuan pada kelompok, namun biasanya hal ini akan dihindari oleh evaluator pendidikan, karena tujuan dari evaluasi pendidikan adalah mengetahui program apa yang paling efektif. Maka ketika evaluator pendidikan akan melakukan penelitian tentang efektivitas suatu pogram, maka sebaiknya jangan menggunakan kelompok yang diberi perlakuan dan yang tidak diberi perlakuan, namun bagaimana caranya menggunakan kelompok perbandingan yang menggunakan alternatif perlakuan yang mungkin diterapkan. Michael Criven memberikan contoh, ketika evaluator ingin meneliti mengenai program pembelajaran berdana rendah, maka sebaiknya membandingkan antara 2 kelompok siswa, yang satu memakai program berdana rendah, yang satu lagi menggunakan program berdana tinggi. Maka akan terlihat hasilnya, di mana hasilnya biasanya siswa dari kelompok program berdana rendah akan sama baiknya, atau justru lebih baik dari kelompok siswa berdana tinggi.

Meskipun demikian, akan selalu ada keadaan di mana penggunaan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan tetap diperlukan.

RANDOMISASI

Dalam menarik kesimpulan dari penggunaan kelompok perbandingan yang secara umum sejajar, teknik terbaik yang digunakan adalah memilih subyek secara acak. Sebagai contoh: ketika kita ingin membandingkan tiga program fisika kepada siswa, maka cara terbaik memilih siswa yang akan digunakan sebagai subyek adalah dipilih secara acak.

Pengacakan adalah cara yang paling baik untuk menjamin bahwa setiap kelompok memiliki keseimbangan.

Particularistic Ploys (Trik-trik lain yang mungkin dilakukan oleh evaluator)

Selain kedua teknik umum yang telah dijabarkan di atas, ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan oleh evaluator untuk menginterpretasikan data. Yang harus terus diingat adalah bahwa tujuan dari evaluasi adalah untuk mengumpulkan data sehingga dapat memberikan interpretasi yang berguna mengenai suatu fenomena pendidikan. Dalam pelaksanaannya, masih dimungkinkan pengambilan interpretasi data yang masuk akal meskipun tanpa penggunaan kedua teknik di atas.

Sebagai contoh: evaluator bisa saja menggunakan periode waktu penelitian yang pendek sehingga variabel sejarah dan pematangan dapat dihindari. Atau untuk menghindari variabel statistik regresi, maka subyek penelitian diambil dari nilai tengah distribusi statistik.

Inti utamanya adalah, setiap evaluator pendidikan harus memiliki kemampuan untuk mencari trik-trik yang tepat untuk digunakan, tidak mesti tergantung dari kedua teknik umum di atas.

Adversary Evaluation Design

Untuk menggambarkan tipe pengambilan data yang paling inovatif, evaluator biasanya menggunakan desain yang disebut desain evaluasi lawan (adversary evaluation desain). Desain ini terinspirasi dari acara debat politik, di mana ada pihak yang ’di atas angin’ dan ada pihak yang ’kalah’.

Para ahli yang mendukung teori ini mengatakan bahwa, apabila ada 2 kelompok yang akan dievaluasi, kelompok yang satu berada dalam situasi konflik, maka kelompok yang lain yang berada pada situasi non-konflik akan memberikan hasil yang lebih baik.

Desain ini dipakai untuk menginterpretasikan data dari 2 orang evaluator. Misalnya dalam hal membandingkan program x dan program Y. Data yang diperoleh kedua evaluator mungkin sama, tapi hasil interpretasi datanya mungkin bebeda, tergantung kondisi yang dialami evaluator pada saat melakukan evaluasi.

BEBERAPA ALTERNATIF DALAM DESAIN EVALUASI

Setelah membahas teknik inovatif di atas, sekarang kita kembali kepada desain yang umum. Ada beberapa desain evaluasi yang umum digunakan, masing-masing harus disesuaikan dengan keadaan. Ada yang memungkinkan untuk dilakukan pengacakan, ada yang tidak. Ada juga yang memungkinkan penggunaan kelompok kontrol, namun ada juga yang tidak. Secara singkat, beberapa desain yang akan diungkapkan di sini harus dipahami oleh para evaluator.

Penjelasan mengenai desain ini, diadopsi dari penjelasan Campbell dan Stanley, pada penelitian mereka yang berfokus pada teknik pengajaran. Mereka menyarankan, sebuah desain harus relevan dengan tujuan dari evaluasi itu sendiri. Jadi desain-desain yang akan dibahas ini adalah desain yang mengacu kepada pendapat kedua ahli di atas. Mereka juga memberikan lambang-lambang simbolis untuk menjelaskan desain-desain evaluasi:

R = Random assignment (pemberian tugas secara acak)

T = Treatment (pemberian perlakuan)

M= Measurement (pengukuran)

1. The One-Shot Case Study (Desain yang terdiri dari satu studi kasus)

Walaupun beberapa penulis menetapkan The One-Shot Case Study sulit digunakan untuk menghasilkan data yang dapat diandalkan, namun ada beberapa keadaan di mana desain ini mungkin digunakan oleh evaluator. Desain ini memiliki beberapa kelemahan ketika menerapkannya. Yang terutama adalah karena kemungkinan beberapa dari kedelapan variabel, seperti sejarah, pematangan, seleksi, dan mortality, mungkin masuk untuk mengacaukan interpretasi data.

Skema dari desain ini terlihat seperti berikut:

T M

­­One – Shot Case Study

Desain ini hanya mengukur apa yang terjadi pada siswa setelah diberi perlakuan, karenanya subyek yang dilibatkan hanya satu atau dua saja, sehingga hasilnya tidak bisa digunakan untuk mewakili kelompok.

2. The One-Group Pretest-Posttest Design (desain yang menggunakan pretes-posttes pada satu kelompok)

Desain lain yang mungkin memberikan hasil yang lemah adalah The One-Group Pretest-Posttest. Design ini terdiri dari Pretest dan Posttest , yang di antaranya diberi sedikit perlakuan. Secara umum desainnya seperti ini:

M T M

One-Group Pretest-Posttest Design

Tehnik ini memiliki banyak kelemahan, karena variabel seperti sejarah, pematangan, testing, dan instrumentasi mungkin masuk untuk mengacaukan hasil interpretasi data. Selain itu, karena tidak ada pembanding, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa hasil yang didapat adalah yang paling benar.

Untuk menghindari kehadiran variabel yang tidak diinginkan, maka desain ini dapat dimodifikasi oleh evaluator. Misalnya untuk menghindari variabel sejarah dan pematangan, maka jangka waktu penelitian dibuat pendek. Untuk menghindari variabel instrumentasi, maka pretes dan posttes yang digunakan berasal dari jenis tes yang sama.

3. Desain kontrol grup non-ekivalen

Desain ini membutuhkan 2 atau lebih dari 2 kelompok, semuanya melalui tahapan pre-test, pemberian perlakuan, lalu dilanjutkan dengan post-test. 1 kelompok dipisahkan sebagai kelompok kontrol, sehingga tidak diberi perlakuan. Secara umum desainnya akan sebagai berikut:

Grup 1 : M → T → M

Grup 2 : M M

Dalam pendidikan, evaluator selalu terlibat dalam analisis perbandingan (komparatif), maka desainnya biasanya akan berbetuk seperti di bawah ini:

Grup 1 : M → T1 → M Grup 1 : M → T1 → M

Grup 2 : M → T2 → M Grup 2 : M → T2 → M

Grup 3 : M → T3 → M Grup 3 : M M

Dalam desain di sebelah kiri, 3 perlakuan dibandingkan satu sama lain, sementara dalam desain yang ada di sebelah kanan, 2 perlakuan dibandingkan satu sama lain dan juga dibandingkan dengan grup kontrol.

Desain ini dapat diterapkan pada keadaan yang tidak memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar grup secara acak (randomisasi). Sehingga, semakin mirip hasil yang didapat dari perbandingan antar grup, maka interpretasi data melalui desain ini akan semakin akurat dan mudah dilakukan.

Kekurangan dari desain ini adalah apabila individu yang dilibatkan dalam kelompok, memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Misalnya satu grup terdiri dari sekelompok siswa yang rajin dan semangat belajar, sementara kelompok yang lain terdiri dari siswa yang malas. Maka perbandingan antar kelompok ini (yang dilihat dari hasil pre-test dan post-test) akan memberikan penafsiran yang salah. Apabila terjadi kasus seperti ini, maka kita bisa mengeliminasi pelajar-pelajar yang terlalu ’aneh’ untuk diikutkan dalam post-test. Sebagai contoh, kita ingin membandingkan 2 prosedur instruksional menggunakan 2 kelompok siswa yang kita percaya bisa dibandingkan. Ternyata setelah hasil pre-test, kita menemukan 15 siswa yang memiliki skor sangat tinggi dan 7 siswa yang memiliki nilai sangat rendah. Dalam hal ini, perlakuan tetap bisa diberikan untuk semua murid dan dilanjutkan dengan post-test, tapi hasil 22 orang siswa tersebut jangan ikut dianalisa. Akan lebih baik lagi apabila kita bisa menggabungkan data lain yang relevan dengan dengan data post-test, contohnya data rata-rata test sebelumnya atau rata-rata tes masuk sekolah, kemudian dicocokkan dengan hasil perbandingan kedua grup tersebut.

Sebagian besar evaluator percaya bahwa faktor yang paling mempengaruhi dalam desain yang tidak acak adalah perbedaan antara siswa yang dilibatkan.

4. Desain kontrol grup menggunakan pre-test dan post-test

Desain ini tepat digunakan apabila keadaan acak dimungkinkan. Secara umum desainnya adalah:

Grup 1 : R M → T → M

Grup 2 : R M M

Desain ini bisa divariasikan menggunakan beberapa perlakuan. Penggunaan kontrol grup mungkin digunakan, bisa juga tidak. Kelemahan dari desain ini adalah apabila pretes yang digunakan mempengaruhi respon subyek terhadap perlakuan yang diberikan.

5. Desain menggunakan kontrol grup dengan penggunaan post-tes

Desain ini diterapkan apabila keadaan acak dimungkinkan secara umum desainnya adalah sebagai berikut:

Grup 1 : R T M

Grup 2 : R M

Desain ini hampir sama dengan desain no.4, hanya saja pada desain ini tidak digunakan pretes. Pengacakan subyek ke dalam kelompok akan membuat kelompok menjadi seimbang. Karena evaluator pendidikan biasanya ingin membandingkan 2 atau lebih perlakuan, maka desainnya dapat menajdi seperti ini:

Grup 1 : R T1 M

Grup 2 : R T2 M

Grup 3 : R M

Tidak seperti desain multigrup sebelumnya, pada desain ini, penggunaan grup kontrol mutlak dilakukan.

6. The Interrupted Time-Series Design

Desain yang terakhir dijabarkan adalah desain ini, yang memiliki perbedaan dengan desain-desain sebelumnya. Secara umum desainnya adalah sebagai berikut:

M1 → M2 → M3 → T → M4 → M5

Dalam desain ini, beberapa pengukuran diberikan sebelum dan sesudah perlakuan. Semakin banyak pengukuran yang dilakuakn akan semakin baik. Analisis data statistik menggunakan model ini agak sedikit rumit, namun data yang dihasilkan dari desain ini lebih dapat diandalkan. Desain ini juga menyajikan pengaruh dari program pendidikan yang diterapkan dalam jangka waktu tertentu, jadi bisa dilihat pengaruhnya dari masa ke masa. Desain ini juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi terhadap program yang mmang direncanakan tidak memiliki grup perbandingan.

Dalam beberapa kondisi, desain ini bisa dimodifikasi menjadi 2 atau lebih grup, bahkan randomisasi bisa diterapkan pada desain ini.

KESIMPULAN

Selain desain-desain yang sudah diabarakan di sini, masih ada beberapa desain yang lain yang diungkapkan oleh ahli-ahli evaluasi pendidikan lainnya. Yang terpenting adalah, tahap pemilihan desain, tanpa evaluator melupakan data penelitian. Selain itu, evaluator juga perlu memahami keadaan untuk dapat menerapkan desain yang terbaik. Terkadang ada situasi yang memungkinkan untuk menerapkan beberapa desain, namun ada juga situasi yang hanya cocok untuk 1 jenis desain saja. Sekali lagi pemahaman evaluator akan situasi sangat diperlukan.

5 komentar:

rachmat mengatakan...

guruku yang cantik !
Kalau mo mengevaluasi salah satu kegiatan sekolah, digunakan model evaluasi apa !
suliadi_sweet@yahoo.com.sg

Husnul Khotimah Thardan mengatakan...

trims atas tulisannya. tp sumbernya kok ga ditulis?

Husnul Khotimah Thardan mengatakan...

trims atas tulisannya. tp sumbernya kok ga ditulis?

Anonim mengatakan...

mau nanya..kalau bedanya single subject design dengan interrupted time-series design apa ya???

MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM [PAI] mengatakan...

Mohon izin download artikel nya Bu Guru,...sebelum dan sesudahnya diucapkan terimakasih.