Rabu, 30 April 2008

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI AMERIKA SERIKAT

I. PENDAHULUAN

Manajemen Berbasis Sekolah adalah salah satu bentuk reformasi pendidikan yang paling populer, yang telah diadopsi oleh banyak negara dan banyak sekolah di negara bagian di Amerika Serikat, sebagai salah satu cara untuk meningkatkan performa sekolah. Manajemen berbasis sekolah ini memberikan keleluasaan kepada orang-orang yang terlibat di sekolah untuk menentukan sendiri alokasi dana mereka, proses rekrutmen staff, dan proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas. Yang membedakan manajemen berbasis sekolah ini dengan pola manajemen tradisional adalah bahwa pada model manajemen tradisional, tujuan dan standar pendidikan ditetapkan oleh pihak pemerintah pusat dan badan pendidikannya, sementara pada MBS, seluruh keputusan dan proses pelaksanaan pendidikannya diserahkan pada aktor-aktor tingkat sekolah.

Menyebarnya ketertarikan akan MBS bersumber pada opini bahwa sistem pendidikan tidak akan berjalan efektif apabila segala pengambilan keputusan dilakukan melalui birokrasi di kantor negara bagian, di mana kantor negara bagian tersebut terlalu besar, terlalu luas, dan terlalu jauh dari kebutuhan siswa. Penggagas ide tentang MBS berargumen bahwa di dalam sistem pendidikan harus ada pemindahan kekuasaan demi terciptanya peningkatan performa sekolah. Mereka berpendapat bahwa pendidik yang ada di sekolahlah yang paling dekat dengan siswa dan mengetahui kebutuhan mereka, karenanya orang-orang inilah (guru) yang memiliki posisi terbaik untuk merancang program-program yang mampu memenuhi kebutuhan para siswa. Pada saat yang sama, apabila guru diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan dan merancang program-program mereka sendiri, guru-guru ini akan memiliki rasa yang lebih besar terhadap sekolah dan bertanggungjawab lebih terhadap kemajuan sekolah. Penggagas MBS juga berpendapat bahwa dengan membagi sistem pengambilan keputusan, akan lebih mengefektifkan penggunaan sumber daya yang ada dan mengeliminr sumber daya yang tidak perlu. Berdasarkan pendapat ini, sekolah dapat merancang kebutuhan sumber daya mereka dengan lebih bijaksana, misalnya sumber dana untuk pengembangan karyawan dan dana untuk kebutuhan peralatan sekolah. Pihak sekolah lebih mampu merancang alokasi dana tersebut karena merekalah yang lebih mengetahui prioritas kebutuhan sekolah dibandingkan pihak negara bagian.

Dalam beberapa tahun terakhir, ribuan sekolah di seluruh Amerika Serikat telah melaksanakan beberapa bentuk dari MBS. Usaha yang sama juga telah dilaksanakan di Australia, Canada, Perancis, New Zealand, Scandiavia, Spanyol, dan Inggris (Hasil penelitian Peck tahun 1997). Pembaruan sistem manajemen yang melibatkan pemindahan kekuasaan juga populer di kalangan bisnis untuk meningkatkan produktivitas. Sejak tahun 1970an, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat harus berhadapan dengan adanya peningkatan persaingan dari negara-negara lain, seperti Jepang. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan di AS harus membentuk tim kerja karyawan demi terciptanya tujuan produksi yang efektif dan efisien, mengorganisasi kualitas produk, dan menentukan metode kerja yang terbaik bagi mereka. Sehingga keputusan-keputusan yang berkaitan dengan proses kerja di dalam perusahaan mulai ’dialihkan’ kepada karyawan karena karyawan-karyawan inilah yang paling tahu metode kerja apa yang terbaik bagi mereka. Perusahaan-perusahaan yang telah mempraktekkan sistem ini ternyata mengalami peningkatan dalam hal kepuasan, komitmen, dan produktivitas kerja karyawan. Perusahaan juga mengalami turunnya tingkat karyawan yang mengundurkan diri dan tingkat ’membolos’ karyawan. (Penelitian oleh Mohrman tahun 1994).

Makalah ini membahas tentang organisasi dan pengaturan sekolah di bawah MBS dan strategi-strategi yang mampu meningkatkan pencapaian siswa, berdasarkan penelitian tentang MBS yang dilakukan oleh Pusat pendidikan Pemerintah (Center on Educational Governance/CEG) dan konsorsium penelitian sekolah di Chicago (Consortium on Chicago School Research/CCSR). Penelitian ini dilaksanakan pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah. Bagian pertama akan membahas tentang sejarah singkat reformasi MBS di AS, dengan menggarisbawahi berbagai pendekatan yang digunakan untuk mengimplementasikan MBS. Bagian berikutnya akan menganalisa konsekuensi diterapkannya MBS, untuk menjawab pertanyaan ”apa perbedaan yang diperbuat MBS di dalam operasional sekolah?”. Titik berat pembahasan ini terletak pada peran baru dan hubungan atara pihak sekllah dengan orangtua di dalam sekolah yang menerapkan MBS. Bagian ini juga memfokuskan faktor-faktor yang membedakan antara ’sekolah yang telah mengalami perbaikan (improving school)’ dengan ’sekolah yang masih berjuang (struggling school)’. Sekolah yang telah mengalami perbaikan adalah sekolah yang telah menuai hasil dari dilaksanakannya MBS. Sekolah ini telah mengalami perubahan organisasi sekolah dan telah memperbaiki praktek-praktek yang penting untuk proses pembelajaran siswa. Praktek-praktek tersebut di antaranya adalah: kepemimpinan sekolah yang efektif, hubungan partnership antara orangtua, masyarakat dan sekolah, kemampuan profesional dari komunitas guru dan staff, lingkungan belajar berpusat pada siswa, dan proses pengajaran berkualitas tinggi. Sekolah ini juga telah berhasil dalam peningkatan pencapaian siswanya. Di pihak lain, sekolah yang masih berjuang, telah mengadopsi MBS, namun belum mampu memberikan keleluasaan 100% kepada guru dan orang tua untuk terlibat secara nyata dan sistematis dalam restrukturisasi organisasi sekolah dan peningkatan proses belajar mengajar.

a. Sumber data

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan Pemerintah (CEG) mencakup seluruh sekolah di negara bagian, sementara Konsorsium (CCSR) hanya meneliti sekolah umum Chicaho. Fokus dari penelitian CEG adalah untuk mengidentifikasi kondisi organisasi seperti apa yang mampu membantu sekolah dalam menerapkan MBS demi terciptanya kemajuan dalam proses belajar-mengajar. Sampel yang digunakan meliputi 44 sekolah di AS, Kanada, dan Australia. Penelitian berfokus pada sekolah-sekolah besar di wilayah urban dengan populasi siswa lebih dari 60.00 orang. Sekolah-sekolah ini telah berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan yang timbul dari perubahan populasi dan rata-rata dari mereka telah melaksanakan MBS selama kurang lebih 4 tahun, meskipun ada sekolah yang telah melaksanakan MBS lebih lama dari itu. Penelitian CEG dilakukan melalui kunjungan lokasi selama 2 tahun dari periode 1993 dan 1994, serta telah mewawancarai lebih dari 500 orang yang terdiri dari anggota badan pendidikan, pengawas dan asosiasi pengawas sekolah yang ada di kantor negara bagian, serta kepala sekolah, guru, orang tua, dan murid yang ada di sekolah.

Sementara pada CCSR, sejak awal pendiriannya di tahun 1990, organisasi ini telah melakukan banyak penelitian tentang pengaruh dari partisipasi secara demokrasi di tingkat sekolah serta penelitian tentang struktur organisasi sekolah dan instruksi pembelajaran. Ribuan siswa dan guru dari sekolah dasar dan sekolah emngeah telah berpastisipasi dalam penelitian, begitu juga dengan kepala sekolah dan anggota komite sekolah. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama tahun 1990-1996 menggunakan longitudinal analisis untuk standarisasi skor tes serta menggunakan metode yang valid dan mendalam.

II. GAMBARAN DAN ASAL MULA REFORMASI MBS DI AMERIKA SERIKAT

Di dalam sekolah yang menerapkan MBS, segala keputusan mengenai anggaran, staff, dan kurikulum dibuat oleh aktir tingkat sekolah yaitu kepala sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat sekitar sekolah. Dari penelitian yang ada, sekolah MBS terkadang menerima anggaran yang pas-pasan sehingga dengan dana tersebut mereka harus mampu menutupi segala kebutuhan mereka sendiri. Karena itu, mereka melakukan kebijakan-kebijakan sendiri untuk operasional sekolah mereka. Sebagai contoh, ada sekolah yang langsung memberikan dana kepada para guru untuk membeli buku-buku yang diperlukan, sehingga sekolah tidak perlu mengeluarkan dana untuk menggaji asisten pustakawan. Ada juga sekolah yang lebih memilih untuk menggunakan sistem guru part-time (guru datang sesuai jamnya mengajar) dibandingkan sistem wali kelas (guru harus ada di sekolah setiap hari meskipun tidak ada jam mengajar). Sekolah MBS juga biasanya memiliki kuasa untuk membuat misi sekolah dan bagaimana mereka meraihnya. Sebagai contoh, salah satu sekolah MBS di Rochester, New York, memfokuskan misi mereka untuk membentuk siswa menjadi lebih bertanggungjawa terhadap lingkungannya dan menjadi warga negara yang efektif. Untuk melaksanakan misi ini, sekolah tersebut melakukan perubahan pada jam sekolah sehingga siswa dapat melakukan kerja sukarela (volunteer) pada komunitas masyarakat mereka.

Apabila menengok ke belakang, MBS sebenarnya bukan fenomena baru pada sejarah reformasi pendidikan Amerika. Element MBS dapat ditemukan sejaka awal tahun 1900an. Beberapa peneliti mencatat bahwa MBS timbul ke permukaan setelah adanya tekanan pada masa-masa kritis, misalnya pada masa demonstrasi guru dan masa perang dunia. Tekakan tersebut sepertinya telah menimbulkan kesadaran akan pentingnya melakukan perubahan sistem yang ada menjadi sistem yang lebih baik agar lebih mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Bukti-bukti yang ada juga menunjukkan bahwa ketika terjadi perubahan sistem tersebut, maka tombak kekuasaan bergeser dan terciptalah suatu keseimbangan kepemimpinan.

Penggunaan MBS untuk merespon krisis, pertama kali muncul saat terjadi pergerakan kelompok guru (1909-1929), di mana perwakilan guru telah terpilih untuk melayani di dalam kelompok guru dan diberi kekuatan untuk membuat kebijakan-kebijakan di dalam sekolah. Pergerakan ini terinspirasi oleh adanya pergerakan buruh saat itu dan hasil dari pergerakan ini terealisasi dalam salah satu bentuk MBS, yaitu adanya suatu badan di sekolah yang didominasi oleh guru.

Masa deprsi yang terjadi di AS dan perang dunia kedua, telah memunculkan Gerakan Demokrasi Administrasi (1930-1950), di mana pada saat itu ada desakan untuk meningkatkan peran orangtua, guru, siswa, dan masyarakat di dalam sekolah secara lebih demokratis lagi. Karena itu dibentuklah komite sekolah untuk menampung beragam aspirasi yang timbul terhadap sekolah.

Pada pertengahan tahun 1960an, MBS menjadi lebih populer lagi selama masa Pergerakan Kontrol Komunitas (1965-1975), yang timbul akibat kurangnya perhatian agen-agen pelayanan publik terhadap kaum miskin. Selama masa ini, mulai bermunculan kelompok-kelompok luar sekolah yang terdiri dari pemimpin komunitas masyarakat dan orangtua dari kaum minoritas, yang terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah. Tidak seperti 2 gerakan sebelumnya, di mana inisiatif datang dari pihak dalam sekolah, maka gerakan kontrol komunitas dipimpin oleh pemimpin yang berasal dari luar sekolah yang menginginkan keterlibatan di dalam pengambilan keputusan di sekolah.

Dari seluruh kisah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa MBS merupkan jalan keluar dari krisis yang ada. Pada saat yang bersamaan, keinginan untuk merealisasikan MBS timbul dari berbagai kelompok dengan keinginan yang sama yaitu desentralisasi. Namun ketika krisis tersebut terselesaikan dan keinginan akan pengalihan kekuasaan terpuaskan, sistem kembali ke sentralisasi lagi. Begitu polanya. MBS benar-benar diusulkan menjadi obat akan krisis di AS ini baru sekitar tahun 1980an.

Pada masa itu, rancangan MBS yang diadopsi, lebih banyak dilakukan oleh dinas pendidikan lokal dan pengawas negara bagian yang merasa kewalahan saat harus mengawasi seluruh sekolah di negara bagian tersebut. Inisiatif terkadang juga datang dari serikat guru yang menginginkan peran dalam peningkatan profesionalitas mereka. Namun dalam beberapa kasus, daerah yang mulai mengimplementasi MBS biasanya berhadapan dengan proses tawar-menawar yang panjang dengan pihak sekolah, khususnya berkaitan dengan masalah gaji. Ada kasus pula, di mana sekolah mengimplementasikan MBS namun dibawah pengawasan pengawas negara bagian. Di beberapa negara bagian, seperti Texas, Kentucky dan Illinois, rancangan MBS telah dibuat oleh pihak negara bagian. Dari hal tersebut diperoleh hasil bahwa terdapat keengganan dari pihak sekolah untuk melaksanakan rancangan tersebut sehingga implementasinya berjalan lambat dan tidak memberikan hasil yang menggembirakan.

Selama kurun waktu 1980-1990, setidaknya ada 3 bentuk MBS yang diterapkan di As. Bentuk yang pertama adalah kontrol kepala sekolah, di mana kepla sekolah diberikan kekuasaan penuh oleh negara bagian untuk mengambil keputusan. Orang tua dan guru berperan sebagai penasihat kepala sekolah, dan komite sekolah boleh ada boleh juga tidak. Bentuk kedua adalah desentralisasi administrasi atau kontrol guru, di mana kekuasaan diserahkan kepada hirarki profesional, yaitu guru. Pada model ini, sekolah biasanya memilih sekelompok guru untuk menjadi komite dan berperan sebagai badan pembuat keputusan di sekolah. Orangtua dan staff administrasi lainnya terkadang juga tergabung dalam komite ini. Bentuk yang ketiga, kekuasaan dan akuntabilitas diserahkan kepada orang tua dan masyarakat di bawah kontrol komunitas. Alasan dibentuknya kontrol komunitas ini karena merekalah yang menjadi konsumen pendidikan yang utama, di mana orang tualah yang paling peduli terhadap apa yang terjadi pada anak mereka, sedangkan masyarakat, khususnya masyarakat bisinis peduli akan nasib masa depan di tingkat lulusan sekolah di dunia kerja.

Meskipun ada perbedaan bentuk MBS yang diadopsi, namun secara garis besar terdapat beberapa kesamaan karakteristik. Pertama, sekolah MBS biasanya memiliki komite atau badan inti yang anggotanya merupakan kombinasi dari staff, guru, orangtua, masyarakat, dan terkadang siswa (sekolah menegah). Anggota komite ini dipilih oleh perwakilan mereka atau oleh seluruh komunitas sekolah. Komite ini bekerja dalam jangka waktu teretentu. Dalam hal kekuasaan, komite ini dapat berperan sebagai pemberi saran untuk kepala sekolah, dapat juga diberi kekuasaan penuh untuk mengambil seluruh keputusan mengenai budget, staff, dan kurikulum. Terkadang kepala sekolah dapat juga memnjadi kepala komite ini. Persamaan lainnya adalah, pada sekolah MBS biasanya terdapat suatu sub-komite, tim kerja, atau tim tugas, untuk membantu komite. Terkadang kelompok-kelompok ini bekerja sebagai perpanjangan tangan komite, mereka dapat juga memberikan saran kepada komite, bahkan dapat juga berperan dalam proses pengambilan keputusan, misalnya dalam hal kurikulum, ujian siswa, dan instruksi pengajaran. Kesimpulannya, di dalam MBS, terdapat berbagai jenis kelompok untuk mendiskusikan ide-ide mereka sehingga kelompok-kelompok memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di sekolah.

Di dalam MBS, ada beberapa element MBS yang memiliki variasi dalam penerapannya. Ada yang telah ditetapkan oleh negara bagian, ada pula yang dibuat sendiri oleh pihak sekolah. Rancangan MBS biasanya ditetapkan oleh kantor negara bagian, namun mengenai komposisi komite sekolah biasanya diserahkan kepada sekolah masing-masing. Sebagai contoh, komite di sekolah menengah biasanya melibatkan perwakilan siswa, sementara komite di sekolah dasar lebih melibatkan orang tua. Jadwal pertemuan komite dan bagaimana proses pengambilan keputusannya juga diserahkan kepada sekolah. Jenis kekuasaan yang diserahkan juga bervariasi. Yang paling sering adalah keputusan mengenai budget, kemudian mengenai rekrutmen staff, dan terakhir mengenai kurikulum.

III. KONSEKUENSI DARI REFORMASI MBS

a. Perubahan Organisasi dan Manajemen Sekolah

Pertanyaan yang paling sering muncul terkait dengan pelaksanaan MBS adalah, seberapa besar kekuasaan itu dialihkan dan siapa yang nantinya memegang kekuasaan itu. Negara bagian yang dibahas dalam makalah ini, telah melakukan pemindahan kekuasaan dan pemberian otonomi kepada sekolah, khususnya mengenai budget, staff, kurikulum, dan pengambilan keputusan tentang instruksi pengajaran. Peneliti menemukan perbedaan yang mendasar antara sekolah yang telah mengalami perbaikan (improving school) dengan sekolah yang masih berjuang (struggling school).

b. Struktur Pengambilan Keputusan yang Baru di Sekolah

Sekolah yang telah mengalami perbaikan (improving school), merasakan sekali keuntungan dari pembagian kekuasaan ke seluruh organisasi sekolah melalui komite dan sub-komite sekolah yang menampung aspirasi dari stakeholders. Sekolah ini juga memiliki tim pengambil keputusan yang anggotanya terdiri dari para guru sehingga mampu mencakup seluruh guru di sekolah secara horisontal (mencakup setiap tingkatan kelas), dan secara vertikal (mencakup berbagai bidang studi yang ada seperti matematika, sains, dll). Selain menjadi anggota dari tim tiap tingkatan kelas dan tim mata pelajaran tertentu, guru juga menjadi anggota sub-komite sekolah yang bertujuan menetapkan prioritas dan tujuan sekolah. Yang menarik, hubungan yang terjadi antara tim-tim ini, ternyata sama untuk setiap improving school yang diteliti, meskipun sekolah-sekolah ini menerapkan model MBS yang berbeda.

Dalam operasionalnya, tim pengambil keputusan ini memiliki struktur formal, dengan anggota yang telah ditetapkan dan jadwal pertemuan yang rutin. Agenda pertemuan selalu dibahas dalam tipa pertemuan dan hasilnya akan diinformasikan kepada orang tua dan masyarakat melalui koran sekolah.

Sebagai tambahan, improving school biasanya memiliki rencana stratejik yang terfokus. Sebagai contoh, di Chicago, rencana perbaikan dan peningkatan sekolah merupakan mekanisme kunci yang mampu menyatukan orang tua, masyarakat dan para guru untuk duduk bersama membahas rencana-rencana stratejik demi kemajuan sekolah. Rencana tersebut biasanya mencakup tujuan dan rencana spesifik untuk peningkatan dan perbaikan sekolah. Di dalamnya uga terdapat proses monitoring dan penandaan untuk tiap tahapan sehingga kemajuan yang terjadi dapat diukur. Rencana stratejik ini biasanya membantu pihak sekolah dalam mencegah terjadinya perpecahan dan ketidakharmonisan di dalam menjalankan program-program sekolah. Selain itu, dapat juga membantu sekolah dalam merancang program-program baru.

Sekolah yang sudah berhasil menjalankan perubahan di sekolahnya, biasanya memiliki visi yang tercatat dengan jelas ( yang mencakup nilai dan tujuan yang diharapkan muncul dari siswa sebagai output pembelajaran). Visi tersebut mampu menjadi ’pegangan’ dalam pelaksanaan kurikulum sekolahnya serta berguna sebagai alat pengambil keputusan di dalam melaksanakan reformasi sekolahnya. Visi ini juga berperan sebagai fokus yang konstan/tetap di dalam proses pembelajaran. Di dalam improving school, visi ini selalu berkembang sejalan dengan dialog yang dilakukan oleh aktor-aktor tingkat sekolah mengenai tujuan dan model pendidikan yang diinginkan. Hal ini membuat semua pihak memiliki aspirasi dalam menentukan apa yang mereka inginkan terhadap sekolah., sehingga nantinya mereka akan bekerja lebih keras dan sukarela untuk membantu mewujudkan misi tersebut.

Kesimpulannya, di dalam improving school, terdapat berbagai forum dan fasilitas di anatar para stakeholders untuk menyampaikan aspirasinya. MBS yang telah dilaksanakan juga memberikan kesempatan yang lebih luas kepada banyak orang maupun banyak kelompok orang, sehingga beban yang ditanggung oleh anggota komite sekolah tidak terlalu berat dan komitmen yang tercipta juga lebih besar. Sedangakn pada struggling school, kekuasaan yang ada di sekolah lebih ditekankan pada beberapa orang saja, biasanya hanya kepada kepala sekolah dan beberapa kelompok guru. Sub komite dan kelompok-kelompok lain tidak diberikan partisipasi yang besar sehingga komitmen yang tercipta terkadang hanya slogan belaka. Yang lebih parah, di dalam struggling school sering terjadi kekacauan kekuasaandan pencampur-adukan pembahasan masalah dengan pembahasan tentang visi. Sehingga sekolah ini terkadang menjadi bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana dialog dengan stakeholders untuk menyimpulkan tujuan sekolah.

c. Perubahan Peran Kepala sekolah

Di dalam MBS, kepala sekolah memiliki hak akan kekuasaan yang lebih besar. Di dalam manajemen tradisional, kepala sekolah harus menerima guru yang ’diberikan’ oleh kantor negara bagian (biasanya guru-guru yang senior), namun di bawah MBS, kepala sekolah biasanya memilih dan merekrut staff profesional yang mereka inginkan. Kepala sekolah biasanya berhati-hati dalam melakukan rekrutmen. Mereka akan mencari guru baru yang kompeten yang mampu bersinergi dan mewujudkan visi sekolah.

Kepala sekolah yang efektif biasanya akan menerima saran dari para stakeholders, sehingga meskipun kepala sekolah memeiliki hak akan kekuasaan yang lebih besar, ia akan membagi kekuasaan tersebut dengan pihak-pihak yang terkait dengan sekolah dalam rangka menegakkan komitmen reformasi. Sebagai contoh, sekolah yang menerapkan model ’kontrol kepala sekolah’ biasanya menjalankan sekolahnya dengan cara sebagai berikut: kepala sekolah biasanya akan berkonsultasi dan bersandar pada asara perwakilan kelompok dalam pengambilan keputusanya yang dilakukan olehnya. Dan biasanya, kepala sekolah di dalam MBS akan menggunakan strategi pendeklatan yang baik terhadap manajemennya.

Dari beberapa model MBS yang ada, ditemukan kesamaan bahwa kepala sekolah memiliki tanggungjawab yang lebih besar pada sisi manajerial. Kepala sekolah pada ’improving school’ dipandang oleh para gurunya sebagai manajer yang efektif, sehingga hal-hal dapat berjalan lancar di sekolah itu. Di dalam sekolah tersebut, dapat dipastikan setipa guru mendapatkan buku-buku yang mereka perlukan untuk proses pengajarannya. Kepala sekolah juga menjamin dukungan akademik dan sosial kepada para murid sehingga gangguan di kelas dapat diminimalisir. Kepala sekolah juga selalu berusaha melindungi para gurunya dari masalah-masalah kecil yang mungkin mengganggu proses pengajaran. Kepala sekolah juga berperan sebagai pembuka pintu kepada suatu dunia baru, pemberi ide-ide dan informasi sumber-sumber pendanaan bagi sekolah. Kepala sekolah juga harus dikenal oleh masyarakatnya. Hal ini dapat dilakukan dengan terlibat langsung dalam kegiatan masayarakat, memberikan pengertian kepada masyarakat sekitar agar tidak memberikan stempel negatif ke sekolah, serta mencegah penjualan barang-barang dari masyarakat yang merugikan siswa, seperti minuman keras.

Kepala sekolah di ’ímproving school’ bekerja untuk fokus kepada proses pembelajaran siswa. Ia akan memberikan standar yang tinggi pada proses pengajaran dan mendorong guru untuk berani mengambil resiko dalam mengembangkan metode-metode baru pengajaran yang lebih menarik. Beberapa kepala sekolah bahkan secara teratur mengunjungi kelas untuk menunjukkan perhatian memonitor kemajuan dalam proses pengajaran. Karena telah memiliki pengetahuan yang baik akan kurikulum dan instruksi pengajaran, maka kepala sekolah sebaiknya mampu mengembangkan cara-cara terbaik yang dapat ditularkan kepada guru dalam menjalankan kelasnya. Kepala sekolah juga harus mampu menggabungkan ide dari para orang tua dan guru dalam rangka mengembangkan instruksi pengajaran yang baik.

Kebalikannya, MBS tidak terlalu sukses dilaksanakan apabila kepala sekolah terlalu menjalankan agendanya sendiri sehingga tidak melibatkan pihak-pihak lain. Banyak kepala sekolah di ’struggling school’ dicap oleh staffnya sebagai kepala sekolah yang ’autokratis’. Kepala sekolah jenis ini biasanya menentukan jenis pembahasan macam apa yang akan dilakukan di dalam komite. Dalam penyusunan visi sekolah tak jarang ia lakukan sendiri tanpa pertimbangan para staff. Hal ini biasanya menimbulkan perselihan antara guru dengan kepala sekolah. Guru sering menolak arahan dan bimbingan dari kepala sekolah tersebut karena para guru ini merasa ’tidak memiliki’ sekolah tersebut, sehingga rasa tanggung jawab guru terhadap keberhasilan program sekolah juga kurang.

IV. PEMAIN-PEMAIN BARU DI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI SEKOLAH

Di dalam sekolah MBS, biasanya telah terdapat perubahan dalam proses belajar-mengajar sehingga tercipta sistem kepemimpinan baru yang melibatkan banyak pihak seperti guru dan pemimpin masyarakat, untuk membantu kepemimpinan kepala sekolah. Sekolah MBS juga telah menekankan pentingnya pengembangan kepemimpinan di antara kelompok-kelompok stakeholders, baik di dalam maupun di luar komunitas.

a. Guru

Keterlibatan guru di dalam MBS cukup bervariasi, mulai dari pihak penasihat sampai pihak pengambil keputusan. Ada beberapa guru yang memiliki peran terbatas, namun ada juga yang memiliki peran yang lebih luas lagi menyerupai peran kepala sekolah, yaitu mengambil keputusan yang mempengaruhi operasional sekolah. Dari beberapa sekolah MBS, guru menempati posisi terbesar dalam komite sekolah, guru juga memiliki peningkatan peran dalam pengambilan keputusan di luar area instruksional, serta memiliki peran dalam menetukan kebijakan-kebijakan di sekolah. Namun hal ini tidak dapat dilihat di Chicago, di mana yang bereparn besar adalah orang tua.

Di dalam ‘improving school’ , sekelompok guru yang terpilih memiliki peran dalam hal pengembangan budget dan jadwal pengembangan profesional. Guru-guru ini juga memiliki kemampuan dalam mengembangkan kemampuna instruksioanl dan terlebih mereka memiliki peran untuk membuat orang tua merasa nyaman dalam ikut serta menyumbangkan saran demi reformasi sekolahnya.

Seperti terungkap dalam penelitian David (1996), guru-guru ini mampu mengembangkan jiwa kepemimpinan mereka dalam mengembangkan program-program sekolah dan mampu melibatkan individu-individu yang ada di sekolah untuk berperan aktif. Hal ini berlawanan dengan keadaan di ‘struggling school’ di mana guru memeiliki peran hanya sebatas dalam kelasnya dan tidak memiliki peran kepemimpinan dalam keseluruhan sekolah.

Kepala sekolah memiliki peran penting untuk membangun kapasitas internal para guru dalam hal kepemimpinan. Kepala sekolah harus memiliki komitmen dalam menjalankan program pengembangan guru, khususnya dalam hal kurikulum dan instruksi pengajaran, sambil tak lupa juga menyentuh area budgeting dan kerja tim. Kepala sekolah harus meluangkan waktu akan hal ini dan menyedikan sumber daya yang mendukung. Dalam membangun kapasitas sumber daya manusia ini, pihak sekolah membutuhkan kerja sama dengan pihak luar seperti universitas, organisasi non profit, serta lembaga-lembaga pendidikan profesional lainnya untuk membrikan pelatihan dan konsultasi. Apabila program pengembangan SDM telah berjalan baik, maka tak heran apabila operasional sekolah akan mengalami peningkatan kualitas.

Di dalam ’improving school’ , topik-topik yang diberikan dalam pengembangan SDM juga telah mengalami perluasan, tidak sebatas pada kurikulum dan proses mengajar saja, namun juga mencakup pelatihan kepribadian (pembuatan keputusan, manajemen konflik, dan kerjasama), pelatihan manajemen (bagaimana emimpin rapat, mengatur dana, dan melakukan interview), serta pelatihan peningkatan program sekolah.

Program pengembangan profesionalitas karyawan di dalam ’improving school’ merupakan rencana stratejik, artinya, program ini akan selalu dimasukkan dalam agenda reformasi sekolah. Komite sekolah juga selalu berusaha memenuhi kebutuhan yang muncul dalam program ini. Selain itu, program ini selalu diadakan secara berkala dan tercipta komunitas guru profesional. Sebagai contoh, guru-guru akan mempersilahkan rekan-rekan guru lainnya untuk masuk ke dalam kelasnya dan melakukan observasi. Mereka akan saling berbagi tips tentang cara terbaik dalam menjalankan kelasnya.

Berlawanan dengan yang terjadi di ’struggling school’, peneliti kurang menemukan bukti akan adanya komunitas guru profesional ini, dan program pengembangan SDM dipandang sebagai program individual, bukan program sekolah secara garis besar. Pelatihan-pelatihan yang diadakan hanya menjangkau sebagian kecil guru-guru inti, dan lebih seperti program instan, jadi bukan merupkan program berkala dan jangka panjang. Di sebuah ’struggling school’, bahkan ditemukan bahwa lebih dari seperempat staff sekolah yang tidak hadir dalam program pengembangan SDM.

b. Orang tua

Sekolah MBS biasanya melibatkan orang tua dalam operasional sekolah serta meminta partisipasi mereka dalam kebijakan-kebijakan sekolah. Di Chicago, peran orang tua dan anggota masyarakat lainnya sangat besar. Mereka memilih kepala sekolah, mempengaruhi pembuatan perencanaan sekolah, dan mengatur budget. Di ebberapa sekolah MBS lainnya, yang terlibat dalam komite sekolah adalah orang tua dari kelompok pelayanan sosial. Ada juga yang melibatkan orang tua karena keahlian mereka, misalnya dalam hal teknologi.

Bukti menunjukkan bahwa, adanya partisipasi dari komunitas lokal dalam pengambilan keputusan di sekolah, akan meningkatkan tanggungjawab dan dukungan dalam pelaksanaannya. Yang perlu diperhatika saat ini adalah bahwa partisipasi orang tua semkain menurun (orang tua yang bekerja akan kesulitan waktu dalam menghadiri pertemuan komite), hal ini dapat dilihat di Chicago di mana angka partisipasi orang tua semakin menurun.

Dalam penelitan yang dilakukan oleh David (1996), Guskey dan Peterson (1996), terlihat bahwa pengembangan profesional para guru dan stakeholders lainnya akan membantu meningkatkan partisipasi dalam sekolah. Di dalam sekolah dasar yang masuk kategori ’improving school’, dukungan orang tua terlihat dari adanya kelas-kelas pelatihan untuk orang tua, misalnya pelatihan untuk memonitor proses belajar anak di rumah dan memeriksa hasil pekerjaan anak. Namun, di ’struggling school’, tidak ada inisiatif semacam itu, bahkan orang tua tidak merasa nyaman untuk datang ke sekolah, khususnya bagi orang tua yang tidak bisa berbahasa inggris. Sama seperti para guru, orang tua yang duduk dalam komite sekolah biasanya tidak diberi pelatihan dalam peran baru mereka sebagai pengambil keputusan di sekolah sehingga mereka tidak dapat berpartisipasi secara efektif dalam manajemen sekolah.

c. Pengurangan peran kantor negara bagian

Pemindahan kekuasaan dan hak kekuatan bagi sekolah membuat berkrangnya peran kantir negara bagian. Tanpa perubahan struktur kantor negara bagian, sekolah akan mengalami kesulitan dalam melakukan perubahan, karena masih mungkin terjadi tekanan dari pihak-pihak ’di atas’. Namun, setelah terjadinya pemindahan kekuasaan, sekolah tetap memerlukan bimbingan. Penelitian menyatakan bahwa, negara bagian dapat berkontribusi positif dalam pemindahan kekuasaan dalam tiga hal:

1. memberikan otonomi yang nyata kepada sekolah

2. mendukung sekolah dalam membangun kapasitas local dan menciptakan inovasi untuk sekolahnya.

3. menciptakan system akuntabilitas yang dapat dilaksanakan baik di sekolah maupun di Negara bagian.

Di dalam beberapa bagian yang diteliti, beberapa pegawai kantor negara bagian tidak siap untuk perubahan ini. Sebagai contoh kasus, para pegawai kantor negara bagian yang sekolah-sekolahnya sudah menjalani MBS, tidak mendapatkan pelatihan akan peran dan tanggung jawab mereka yang baru.

Penjelasan dari ketiga poin di atas:

1. memberikan otonomi

penelitian terdahulu menunjukkan bahwa komite sekolah memiliki kekuatan yang terbatas, hanya sebagai penasihat atau anggota pasi dari proses pengambilan keputusan. Guru dan orang tua tidak dberikan kekuasaan untuk mengatur, mereka tidak memiliki suara dalam menentukan masalah-masalah utama di sekolah seperti kurikulum dan instruksi pengajaran. Peran mereka sebatas dalam hal jadwal agenda sekolah, cara pengumpulan dana dan melaksanakan perintah negara bagian.

Apabila negara bagian memiliki keterbukaan dalam menciptakan otonomi bagi sekolah, maka sekolah akan menggunakan kekuatam tersebut untuk meningkatkan sistem belajar-mengajar mereka. Pengawas dan pegawai negara bagian lainnya harus mengurangi ’kekuasaan’ mereka, sehingga sifat pekerjaan mereka harus berubah dari ’memerintah’ menjadi ’melayani’. Sebagai contoh, di Edmonton (Kanada), sekolah memiliki hak untuk menggunakan uangnya untuk melakukan pengembangan profesional di luar negara bagian.

2. membangun kapasitas lokal dan menciptakan inovasi

pada ’struggling school’, negara bagian kurang mampu membrikan informasi kepada sekolah secara cepat, sehingga hal ini menyulitka pihak sekolah untuk memberikan rekasi yang cepat pula terhadap informasi tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dalam MBS karena sekolah memerlukan akses yang cepat terhadap informasi. Di Australia, solusi yang dilakukan oleh negara bagian Victoria adalah dengan menginstall komputer interaktif secara on-line di tiap sekolah yang terhubung dengan kantor negara bagian, di mana komputer-komputer tersebut memiliki data mengenai budget, personil staff, pencapaian siswa, serta data tentang pembelian dan inventaris sekolah, sehingga anatar sekolah dengan kantor negara bagian dapat berbagi informasi dengan cepat. Sistem ini merupakan sistem yang paling maju di antara tenpat-tempat lain yang diteliti (Edmonton, Jefferson County (Kentucky), dan Chicago), meskipun mereka juga telah memiliki sistem yang mirip seperti ini.

Hal lain juga terkait dalam membangun kapasitas lokal adalah elemen gaji atau insentif tambahan. Meskipun ada beberapa pilihan dalam memebrikan gaji, namun di dalama MBS, yang pasti harus ada penghargaan berupa gaji atau insentif bagi guru-guru yang telah meningkatkan kemampuannya dalam tugas.

Contoh lain dari negara bagian yang telah menerapkan restrukturisasi dan total quality management ( jefferson County, Prince William County, dan San Diego) adalah adanya semboya bahwa sekolah adalah pelanggan dari Negara bagian. Bahkan pengawas dari Jefferson County mengatakan kepada para kepala sekolahnya bahwa mereka tak perlu berpikir dua kali untuk menghubunginya bila terdapat masalah.

Pengawas juga harus mampu memberikan keberanian kepada sekolah untuk berani mengambil resiko dalam program pengembengan sekolahnya. Mereka harus mendukung sekolah untuk berani mencoba cara baru dalam hal kurikulum dan instruksi pengajaran. Tentu saja dengan adanya dukungan dana dari negara bagian.

Dalam penelitian David (1996) serta Newmann dan Wehlage (1995), ditemukan bahwa, ’improving school’ tidak hanya bersandar pada negara bagian saja dalam program pengembangan profesionalnya. Sekolah ini melibatkan universitas perusahaan swasta, dan lembaga riset untuk memberikan pelatihan bagi staffnya. Sementara pada ;struggling school’ , meraka hanya mengandalkan negara bagian, sehingga materi pelatihan sangat terbatas tergnatung yang diinginkan oleh negara bagian tersebut.

3. menciptakan system akuntabilitas

garis besar pelaksanaan MBS adalah adanya otonomi yang lebih besar dari partisipasi di sekolah sehingga tercipta peningkatan akuntabilitas pula. Maksudnya adalah, dalam MBS, sekolah diberi kekuatan untuk membuat keputusan-keputusan sementara tugas utamanya untuk meningkatkan penampilan siswa tidak ditinggalkan dan dapat dikatakan akuntabel oleh negara bagian. Penelitian menunjukkan bahwa, cara terbaik untuk menjamin akuntabilitas sekolah adalah peningkatan professional guru dan peningkatan keterlibatan orangtua dan masyarakat. Yang dapat dikatakan sekolah yang akuntabel adalah sekolah yang mampu memenuhi tanggungjawabnya terhadap para siswa dan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seefektif mungkin. Selain itu tentu saja peningkatan kemampuan guru dan perbesaran peran orangtua.

Salah satu unsur penting dalam akuntabilitas adalah adanya keharmonisan antara sekolah dengan negara bagian, khususnya dalam hal tujuan. Keharmonisan ini akan memudahkan perumusan nilai dan kekuatan yang dimiliki pihak sekolah. Apa yang terjadi apabila pihak negara bagianlah yang menentukan standar yang terkadang tidak sesuai dengan tujuan sekolah? Sekolah akan terperangkap dalam konflik kepentingan dan tujuan yang menjadi kabur. Karena itu pihak negara bagian harus bijaksana menentukan sistem akuntabilitas untuk mementukan hal-hal apa yang boleh bervariasi di tiap sekolah dan hal-hal apa yang harus sama.

Salah satu tujuan penting dari akuntabilitas adalah untuk mengidentifikasi sekolah-sekolah yang memiliki kemampuan yang rendah. Dalam hal ini, negara bagian memiliki hak untuk menempatkan sekolah-sekolah ini ke dalam masa remediasi atau masa percobaan. Tak jarang pula, dalam kasus seperti ini, sekolah mengalami perubahan konstitusi dengan dimasukkannya guru-guru baru yang kompeten.

Selain untuk emgidentifikasi sekolah-sekolah dengan mutu rendah, sistem akuntabilitas juga berfungsi untuk mengetahui kriteria-kriteria bagi sekolah yang baik sehingga dapat menjadi contoh bagi sekolah lain serta sebagai alat pengukur kemajuan sekolah. Dalam beberapa negara bagian, sekolah yang masuk kategori sekolah yang bagus dan mengalami kemajuan, akan menerima bonus berupa penghargaan atau uang. Keuntungan dari sistem akuntabilitas ini adalah bahwa negara bagian akan semakin memahami proses reformasi yang terjadi di sekolah sehingga negara bagian dapat menjadi penghubung bagi sekolah-sekolah dengan pola reformasi yang sama dan bagi sekolah mutu rendah untuk dapat mencontoh sekolah yang lebih sukses.

Sistem akunatabilitas yang digunakan di AS menggunakan skor tes yang telah distandarisasi sehingga dapat memberikan informasi yang layak. Yang diukur tidak hanya peningkatan kemampuan siswa, namun juga harus dikaitkan dengan kompleksitas siswa seperti mobilitas siswa, tingkat pendapatan keluarga, latar belakang kehidupan siswa, serta usaha yang dilakukan staff dalam meningkatkan kemampuan mengajar. Sehingga indikator yang digunakan untuk mengukur akuntabilitas bersifat multiple (banyak faktor).

V. KESIMPULAN

Hasil penelitian ini, yang menggunakan beragam sampel sekolah dengan berbagai bentuk MBS yang digunakan, dapat digeneralisasi untuk sekolah yang ingin menerapkan MBS dalam rangka meningkatkan performa sekolah.

Bukti yang ada menjelaskan bahwa, apabila ingin memeproleh hasil yang nyata dari MBS, harus melakukan implementasi menyeluruh serta adanya dukungan nyata dari pemimpin lokal dalam memperkuat dukungan bagi proses pembelajaran siswa. Aktor tingkat sekolah juga memiliki peran dalam mengidentifikasi kebutuhan siswa dan melakukan perubahan dengan meningkatkan kemampuan profesionalnya. Bagaimananpun juga, meskipun negara bagian telah membagi kekuasaan, tidak berarti skeolah dapat menjalankannya dengan efektif. Sekolah tetap membutuhkan dukungan dari negara bagian dan terkadang melibatkan pihak luar. Selain itu, sekolah juga perlu membuat struktur, meyakinkan berlangsungnya proses dan terciptanya insentif , demi adanya keterlibatan lebih dari partisipan.

Dengan adanya otonomi yang lebih besar, kepala sekolah dan guru dapat selangkah lebih maju. Namun kenyataan ini membuat bervariasinya keadaan di tiap sekolah. Kepala sekolah yang lemah, kurangnya respek akan kekuatan SDM, dan komite yang bersifat apatis sepertinya akan selalu ada dalam sekolah yang sedang mengalami reformasi.

Sekolah dengan mutu rendah memerlukan perubahan kebijakan yang serius. Di Chicago dan juga beberapa negara bagian di AS, mulai diberlakukan sistem ’masa percobaan’ oleh pengawas untuk sekolah-sekolah dengan mutu rendah ini. Penelitian ini baru berfokus pada efektivitas program ’masa percobaan’ ini, namun untuk implementasinya memerlukan perhatian yang ekstra yang didasarkan pada informas yangd apat diandalkan dan saran ahli.

Keseimbangan antara kontrol lokal dan pusat sangat diperlukan. Apabila terlalu banyak ikut campur, maka proses pemindahan manajemen menjadi tidak berarti. Di sisi lain, apabila terlalu sedikit pengawasan, maka kantor pusat bisa-bisa lepas tangan terhadap tanggungjawabnya di bidang pendidikan. Salah satu kunci untuk mengatur hal ini adalah adanya keseimbangan dari pusat untuk memainkan perannya dalam hal membangun kapasitas lokal, menciptakan inovasi dan menciptakan akuntabilitas sekolah dalam hal peningkatan performa siswa.

Catatan Tambahan

  1. Pusat Pendidikan Pemerintah (The Center on Educational Governance / CEG) berlokasi di Universitas Southern California, di mana anggotanya merupakan gabungan dari fakultas pendidikan dan fakultas bisnis dan administrasi publik. CEG ini telah melakukan banyak penelitian yang di bidang manajemen pendidikan yang berfokus pada peningkatan produktivitas di sekolah dasar dan menengah pertama. CEG ini yang menerima dana dari pemerintah dan pihak swasta, menggabungkan penelitian (yang bertujuan untuk membentuk teori-teori baru tentang apa yang membuat sebuah sekolah berhasil) dengan action research (untuk memberikan praktek-praktek perubahan yang nyata). CCSR adalah federasi independen di Chicago, yang banyak melakukan penelitian untuk melihat kemajuan di sekolah umum Chicago serta untuk melihat kemajuan reformasi sekolah. Anggota CCSR melibatkan banyak komponen yaitu kelompok dari sekolah umum Chicago, federasi guru Chicago, kelompok advokasi pendidikan, dan badan pendidikan Illinois. Dana yang diperoleh berasal dari beberapa yayasan swasta.
  2. Sampel sekolah yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari berbagai daerah di negara bagian di AS, yaitu Bellevue (Washington), Chicago (Illinois), Denver (Colorado), Jefferson County (Kentucky), Milwaukee (Wisconsin), Prince William County (Virginia), Rochester (New York), San Diego (California) dan Sweetwater (California). Peneliti juga mengunjungi 14 sekolah di Edmonton an Alberta di Kanada serta di Victoria (Australia)

Tidak ada komentar: