Kamis, 31 Januari 2013

Dua!

hihi tak terasa anak ini sudah berusia 2 tahun aja


kayaknya baru kemaren nangis2 divonis dokter bakal susah hamil karena rahimnya retroverted plus ada kista endometriosis pula
tapi siapa yang bisa mengatur nasib manusia?
buktinya sekarang ada 2 anak kecil lucuk lagi tidur pulas tiban2an di kasur... hihi...

God is good....

jadi jangan pernah berhenti berharap, berdoa dan berusaha, ya! :)


Rabu, 14 Mei 2008

pelanggaran HAM di SMAN 68 Jakarta

Pelanggaran HAM, SMA 68 Diadukan Ke Komnas HAM

JAKARTA, SELASA - SMA Negeri 68, salah satu sekolah negeri terbaik di DKI Jakarta, diadukan ke Komnas HAM karena dugaan pelanggaran HAM terhadap siswa didik.

Selain dugaan pelanggaran HAM, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, Koalisi Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengadukan dugaan korupsi di sekolah yang berada di kawasan Salemba tersebut. Selain SMA 68, SD Negeri Percontohan IKIP Jakarta pun diadukan untuk kasus serupa.
"ICW sebagai fasilitator yang menghubungkan antara aliansi orangtua peduli pendidikan dan koalisi pendidikan untuk menyelesaikan permasalahan ini," ujar peneliti pendidikan ICW, Febri Hendri, di Komnas HAM, Selasa (13/5).

Salah satu orangtua murid, Alex Yuswar, mengatakan, terjadi intimidasi kepada siswa, yang orangtuanya vokal dalam memeriksa laporan keuangan sekolah. "Apabila tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, dikatakan bego, bodoh. Dan, gurunya ngomong, pantas anaknya bego, orangtuanya banyak omong," kata Alex. Selain itu, lanjut Alex, siswa yang belum membayar uang sekolah diumumkan melalui pengeras suara sehingga membuat siswa bersangkutan malu.

Sementara itu, perwakilan orangtua murid dari SD Percontohan IKIP, Handaru, mengatakan, siswa yang orangtuanya dianggap kritis terhadap laporan Anggaran Perencanaan Belanja Sekolah (APBS) rapornya dikosongkan. Rangkingnya pun diturunkan dan tidak diikutsertakan dalam tes susulan.

Hingga berita ini diturunkan, Komnas HAM yang diwakili oleh komisioner pemantauan penyelidikan, Nurcholis, masih mendengarkan runtutan laporan tersebut. (C5-08)


http://www.kompas. com/index. php/read/ xml/2008/ 05/13/14460495/ pelanggaran. ham.sma.68. diadukan. ke.komnas. ham

Rabu, 30 April 2008

Efektivitas dan efisiensi anggaran pendidikan di Indonesia

Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

Kenyataan yang terjadi di Indonesia, penyediaan sumber-sumber pendidikan, khususnya anggaran pendidikan, masih mengalami hambatan. Alokasi dana pendidikan di Indonesia termasuk rendah apabila dibandingkan dengan Negara-negara lain di Asia Tenggara, khususnya Negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan singapura. Anggaran pendidikan di Indonesia selama ini ‘hanya; dialokasikan di bawah 105 dari APBN, padahal dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.

Alokasi dana pndidikan pada tahun 2005 hanya sebesar 8,1% dari APBN, sedangkan pada 2006 sebsar 9,1%. Meskipun pemerintah dan DPR sudah memiliki kesepakatan untuk menaikkan anggaran secara bertahap 2,7%/tahun hingga 2009 dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,02% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009), namun nota kesepatan tersebut sudah diingkari. Dapat kita bayangkan jika kenaikan bertahap 2,7%/tahun saja tidak terpenuhi, maka lompatan besar peningkatan anggaran dalam tahun 2008 tentu jauh dari harapan. Hal tersebut juga masih jauh dari target kesepakatan yang dihasilan dalam KTT menteri pendidikan se-Asia Tenggar tahun 1992, yaitu minimal 25% dari APBN.

Studi empiris terhadap pencapaian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan UNDP, menunjukkan bahwa pembiayaan pndidikan di suatu Negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di Negara yang bersangkutan. Dampak rendahnya anggaran pendidikan di Indonesia adalah tidak meratanya kesempatan belajar bagi anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak dari keluarga miskin dan kurang mampu. Data BPS tahun 1998 mengungkapkan lebih dari 35% anak Indonesia usia 10-14 tahun belum pernah emnikmati pendidikan, sekitar 32% tidak pernah tamat SD. Rendahnya anggaran pendidikan juga mempengaruhi profesionalitas guru,penyediaan insfrastruktur pendidikan, serta kemampuan daya saing SDM di tingkat global.

Dengan gambaran problematika di atas, dibutuhkan penyelesaian yang secepat dan setepatnya agar Negara ini tidak semakin terpuruk dalam kebodohan dan kemiskinan. Hal pertama yang harus diwujudkan adalah adanya kemauan politik dari pemerintah untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Selanjutnya, pemerintah melalui pejabat-pekabatnya harus konsekuendalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sudah disepakati. Setelah itu perlu adanya control yang terus-menerus dari pihak pemerintah dan masyarakat. Secara teknis, pembiayaan pendidikan dari APBN dan APBD harus benar-benar digunakan untuk membiayai program-program pendidikan yang merupakan prioritas seperti program wajib belajar, program pelatihan guru, dan program pengentasan kemiskina.

Semua program di atas tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya revolusi kinerja, revolusi birokrasi dan kebijakan penganggaran yang ketat an efisien. Sebagai alternative, pemerintah bisa melakuka pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintaj. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan. Selain itu pemrintah dapat melakukan penundaan untuk menerbitkan badan-badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang cukup besar. konsekuensinya, selama anggaran belum mencapai 20%, kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian rupa.

Kebijakan desentralisasi pendidikan

Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah menjadi isyarat perlunya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang sentralistik ke desentralistik. Otonomi daerah dalam bidang pendidikan menjadi hal yang mutlak dilakukan demi terciptaya pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa.

Namun ada beberapa hal negative yang muncul dari pemberlakuan kebijakan desentralisasi pendidikan ini, yaitu sebagai berikut.

  • Daerah akan memanfaatkan kondisi yang ada untuk mendapatkan atau memroleh pendapatan daerah. Hal ini sangat riskan karena berhubungan langsung dengan rakyat kecil yang semestinya mendapatkan pendidikan gratis.
  • Menimbulkan jurang yang semakin lebar antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin
  • Tidak meratanya pendistribusian guru karena guru cenderung bertahan di daerah yang mampu memberikan kesejahteraan

Dampak negative di atas merupakan hasil ketidaksiapan daerah menghadapi kebijakan desentralisasi pendidikan. Alas an yang sering dilontarkan daerah terkait ketidaksiapannya sangat beragam, di antaranya: SDM mereka belum memadai, sarana dan prasarana belum tersedia, anggaran pendapatan asli daerah (PAD) sangat rendah, serta secara psikologis mereka gamang dan takut terhadap perubahan.

Selain sikap daerah, ternyata pemerintah pusat juga emmiliki andil terhadap kurang berhasilnya kebijakan desentralisasi pendidikan selama 8 tahun terakhir. Pemerintah pusat masih saja memertahankan bentuk –bentuk kewenangannya di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada PP no 25 th. 2000 tentangkewenangan pemerintah dan provinsi, khususnya pada pasal 2 butir 11, tercantum 10 butir kewenangan yang masih dipegang pemerintah pusat, di antaranya: standar materi, biaya penyelengaraan pendidikan, sertifikasi, kalender akademik, dan penilaian secara nasional.

Padahal jika melihat peluang dari kebijakan desentralisasi ini, maka kebijakan ini harusnya mampu menjadi salah satu jawaban dari masalah peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kebijkan ini berasal dari arus paling bawah (prass root) sehingga kebijakan ini merupakan kebijakan yang populis dan mendapat dukungan dari banyak pihak, khususnya para wakil rakyat yang duduk di kursi DPR-RI.

Demi terciptanya keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, ada beberapa pekerjaan besar yang harus dilakukan

  1. Harus ada kerjasama dari seluruh stakeholders dalam impelementasi kebijakan desentralisasi pendidikan
  2. Pemerataan SDM
  3. pemrioritasan bantuan dana ke daerah miskin dan terpencil



rio

Rendahnya mutu SDM Indonesia ?

Rendahnya mutu SDM Indonesia menjadi cermin rendahnya mutu pendidikan di Negara ini. Secara garis besar ada tiga penyebabnya, sebagai berikut.

  1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional tidak konsiste
  2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik
  3. Peran serta mayarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim

Ketiga hal di atas dapat terlihat secara jelas pada kenyataan yang sedang teradi saat ini, seperti kurang meratanya kesempatan belajar, tidak adanya kesesuaian antara program pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja, pengelolaan yang belum efisien, tenaga pendidik dan kependidikan yang belum profesional, biaya pendidikan yang terbatas, kenakalan remaja, dan lain sebagainya.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, rendahnya mutu pendidikan disebabkan karena Indonesia belum mampu mengatasi tiga tantangan besar dunia pendidikan, yaitu krisis ekonomi, globalisasi, dan otonomi daerah. Seperti yang kita ketahui bersama, sampai saat ini Indonesia masih bergulat dengan krisis ekonomi yang menimpa Negara kita sejak 10 tahun terakhir, sehingga kemampuan pemerintah menganggarkan minimum 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan belum terealisasi. Hal ini berdampak sangat luas terhadap dunia pendidikan, karena bukan saja kesejahteraan pendidik yang tidak terpenuhi, melainkan juga kemampuan penyediaan sarana dan prasaran pendidikan sangat terbatas.

Selanjutnya, terkait dengan globalisasi, Indonesia sepertinya belum mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. hal ini dapat telihat dari 2 indikator sekaligus yaitu indicator makro seperti pencapaian HDI (Human Development Index) dan indicator mikro seperti kemampuan membaca. Berdasarkan laporan UNDP pada Human Development Report 2005, Indonesia menduduki peringkat ke-110 dari 177 negara di dunia. Dalam hal kemampuan membaca, anak-anak Indonesia berada di posisi terbawah untuk kawasan Asia Tenggara, menurut laporan Vincent Greanery dalam Literacy Standards in Indonesia.

Melhat berbagai permasalahn di atas, penulis memberikan beberapa solusi untuk mengatasi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

1. Perlu adanya political will atau kemauan politik pemerintah Indonesia untuk bidang pendidikan. Hal ini adalah hal mendasar yang harus diperbaiki terlebih dahulu apabila kiya ingin memerbaiki kuailtas pendidikan kita. Political will pemerintah dapat dimulai dengan mengalokasikan anggaran 20 % APBN dan APBD untuk pendidikan. Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, diperlukan juga konsistensi tinggi dari seluruh birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan

2. Setelah adanya political will dari pemerintah, maka pemerintah harus membuat kebijakan pendidikan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan. Kebijakan tersebut di antaranya:

· Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memeroleh pendidikan

· Meningkatkan kemampuan akdemik, professional, dan kesejahteraan tenaga pendidik

· Melakukan pembaruan kurikulum

· Memberdayakan lembaga pendiidkan dan meningkatkan partisipasi keluarga

· Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem diknas

· Memberikan kewenangan kepada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan

saya ini 'hanya' seorang guru

di tengah gempuran terhadap profesi pendidik, saya memilih untuk membaktikan hidup saya sebagai seorang guru. saya terpanggil untuk memajukan anak-anak indonesia ini. meskipun sering timbul perasaan bersalah, karena saya selalu terjebak untuk mendidik anak-anak berkantong tebal. saya tidak pernah memilih anak-anak mana yang akan saya didik. tapi keadaan memaksa saya melakukannya. saya manusia biasa. saya butuh dukungan finansial untuk mencukupi hidup saya. walaupun idealisme saya terus menggelegak untuk mendidik anak-anak yang menurut keadaan disebut 'kurang mampu'.

suatu hari nanti...mungkin....

di tengah pandangan negatif akan pilihan hidup saya ini, saya mencoba terus bertahan. bahkan saya memutuskan untuk terjun total dalam dunia ini. saya menekuni ilmu manajemen pendidikan, untuk menjawab sekian banyak keingintahuan saya akan dunia ini.

namun yang terjadi adalah....

tersentak nurani saya melihat kenyataan yang ada.
cenderung mengarah ke rasa kecewa yang mendalam.
ternyata dunia pendidikan yang saya pikir adalah dunia yang tergolong bersih dari intrik-intrik duniawi, justru merupakan benih kehancuran yang terjadi di indonesia ini.

bagaimana tidak?
institusi penghasil guru yang seharusnya mampu menghasilkan guru yang berkualitas dan berhati nurani bersih, justru merupakan sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme.
sekarang saya tahu kenapa KKN tumbuh subur di negeri tercinta ini.

saya tidak menunjuk kepada pihak-pihak tertentu. memang masih banyak guru berdedikasi tinggi di indonesia ini. seperti Ibu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi.
sungguh saya merindukan sosok Ibu itu.

bagaimana murid-murid kita bisa jujur, apabila gurunya terbiasa mencontek?
tahukah anda, bapak-ibu guru, bahwa mencontek adalah akar dari korupsi?

saya juga bukanlah manusia setengah dewa. saya pun banyak melakukan kelalaian. namun alangkah indahnya apabila kita, orang-orang yang terpanggil untuk mendidik anak-anak bangsa ini, memiliki kemauan untuk maju. memiliki kemauan untuk terus belajar. terus membaca. membuka diri terhadap teknologi. bergairah terhadap diskusi. dan yang terpenting, memberikan hidup kita sebagai teladan untuk anak-anak kita.

sungguh saya rindu akan itu.......

HAL KEWAJIBAN GURU

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Pasal 20 huruf d:

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: (d) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika

Pasal 35 ayat 1-3:

1.Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.

1. Beban kerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.