Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
Kenyataan yang terjadi di Indonesia, penyediaan sumber-sumber pendidikan, khususnya anggaran pendidikan, masih mengalami hambatan. Alokasi dana pendidikan di Indonesia termasuk rendah apabila dibandingkan dengan Negara-negara lain di Asia Tenggara, khususnya Negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan singapura. Anggaran pendidikan di Indonesia selama ini ‘hanya; dialokasikan di bawah 105 dari APBN, padahal dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.
Alokasi dana pndidikan pada tahun 2005 hanya sebesar 8,1% dari APBN, sedangkan pada 2006 sebsar 9,1%. Meskipun pemerintah dan DPR sudah memiliki kesepakatan untuk menaikkan anggaran secara bertahap 2,7%/tahun hingga 2009 dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,02% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009), namun nota kesepatan tersebut sudah diingkari. Dapat kita bayangkan jika kenaikan bertahap 2,7%/tahun saja tidak terpenuhi, maka lompatan besar peningkatan anggaran dalam tahun 2008 tentu jauh dari harapan. Hal tersebut juga masih jauh dari target kesepakatan yang dihasilan dalam KTT menteri pendidikan se-Asia Tenggar tahun 1992, yaitu minimal 25% dari APBN.
Studi empiris terhadap pencapaian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan UNDP, menunjukkan bahwa pembiayaan pndidikan di suatu Negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di Negara yang bersangkutan. Dampak rendahnya anggaran pendidikan di Indonesia adalah tidak meratanya kesempatan belajar bagi anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak dari keluarga miskin dan kurang mampu. Data BPS tahun 1998 mengungkapkan lebih dari 35% anak Indonesia usia 10-14 tahun belum pernah emnikmati pendidikan, sekitar 32% tidak pernah tamat SD. Rendahnya anggaran pendidikan juga mempengaruhi profesionalitas guru,penyediaan insfrastruktur pendidikan, serta kemampuan daya saing SDM di tingkat global.
Dengan gambaran problematika di atas, dibutuhkan penyelesaian yang secepat dan setepatnya agar Negara ini tidak semakin terpuruk dalam kebodohan dan kemiskinan. Hal pertama yang harus diwujudkan adalah adanya kemauan politik dari pemerintah untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Selanjutnya, pemerintah melalui pejabat-pekabatnya harus konsekuendalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sudah disepakati. Setelah itu perlu adanya control yang terus-menerus dari pihak pemerintah dan masyarakat. Secara teknis, pembiayaan pendidikan dari APBN dan APBD harus benar-benar digunakan untuk membiayai program-program pendidikan yang merupakan prioritas seperti program wajib belajar, program pelatihan guru, dan program pengentasan kemiskina.
Semua program di atas tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya revolusi kinerja, revolusi birokrasi dan kebijakan penganggaran yang ketat an efisien. Sebagai alternative, pemerintah bisa melakuka pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintaj. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan. Selain itu pemrintah dapat melakukan penundaan untuk menerbitkan badan-badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang cukup besar. konsekuensinya, selama anggaran belum mencapai 20%, kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian rupa.